GENDER
1. PENGERTIAN GENDER
Kata
gender berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin". Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai
dan tingkah laku.
Di dalam
Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep
kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Hilary M.
Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan
gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan
(cultural expectations for women and men). Pendapat ini
sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan
masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah
termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or
feminin is a component of gender).
H. T. Wilson
dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan
pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan
perempuan. Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter
yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan
dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep
analisa dalam mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender
is an analityc concept whose meanings we work to elucidate, and a subject
matter we proceed to study as we try to define it)
Kata gender
belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah
tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan
Peranan Wanita dengan istilah "jender". Jender diartikan sebagai
"interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni
laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan
pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan"
Dari berbagai
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa
masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati
ISTILAH
GENDER
Pertama kali diperkenalkan oleh
Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada
pendefinisian yang bersifat social budaya dengan
ciri-ciri fisik biologis
2. PERBEDAAN
ANTARA SEX DAN GENDER
Sejak dua dasawarsa terakhir, diskursus tentang gender sudah mulai ramai dibicarakan
orang. Berbagai peristiwa seputar dunia perempuan di berbagai penjuru dunia ini
juga telah mendorong semakin berkembangnya perdebatan panjang tentang pemikiran
gerakan feminisme yang berlandaskan pada analisis “hubungan gender”.
Berbagai kajian tentang perempuan digelar, di
kampus-kampus, dalam berbagai seminar, tulisan-tulisan di media massa,
diskusi-diskusi, berbagai penelitian dan sebagainya, yang hampir semuanya
mempersoalkan tentang diskriminasi dan ketidakadilan yang menimpa kaum
perempuan. Pusat-pusat studi wanita pun menjamur di berbagai universitas yang
kesemuanya muncul karena dorongan kebutuhan akan konsep baru untuk memahami
kondisi dan kedudukan perempuan dengan menggunakan perspektif yang baru.
Dimasukkannya konsep gender ke dalam studi wanita
tersebut, menurut Sita van Bemmelen paling tidak memiliki dua alasan. Pertama, ketidakpuasan dengan gagasan
statis tentang jenis kelamin. Perbedaan antara pria dan wanita hanya menunjuk
pada sosok biologisnya dan karenanya tidak memadai untuk melukiskan keragaman
arti pria dan wanita dalam pelabagi kebudayaan. Kedua, gender menyiratkan bahwa kategori pria dan wanita merupakan
konstruksi sosial yang membentuk pria dan wanita. (dalam Ibrahim dan Suranto,
1998: xxvi)
Namun ironisnya, di tengah gegap gempitanya upaya kaum
feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender itu, masih banyak
pandangan sinis, cibiran dan perlawanan yang datang tidak hanya dari kaum
laki-laki, tetapi juga dari kaum perempuan sendiri. Masalah tersebut mungkin
muncul dari ketakutan kaum laki-laki yang merasa terancam oleh kebangkitan
perempuan atau mungkin juga muncul dari ketidaktahuan mereka, kaum laki-laki
dan perempuan akan istilah gender itu
sendiri dan apa hakekat dari perjuangan gender
tersebut.
Bertolak dari
fenomena tersebut maka konsep penting yang harus dipahami terlebih dahulu
sebelum membicarakan masalah perempuan ini adalah perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep gender.
Pemahaman yang mendalam atas kedua konsep tersebut sangatlah penting
karena kesamaan pengertian (mutual
understanding) atas kedua kata kunci dalam pembahasan bab ini akan
menghindarkan kita dari kemungkinan pemahaman-pemahaman yang keliru dan tumpang
tindih antara masalah-masalah perempuan
yang muncul karena perbedaan akibat seks
dan masalah-masalah perempuan yang muncul akibat hubungan gender, disamping itu juga untuk memudahkan pemahaman atas konsep gender yang merupakan kata dan konsep
asing ke dalam konteks Indonesia.
3.
GENDER DAN SOSIALISASI
A.
Pengertian Sosialisasi
Kuatnya citra gender sebagai
kodrat, yang melekat pada benak masyarakat, bukanlah merupakan akibat dari
suatu proses sesaat melainkan telah melalui suatu proses dialektika, konstruksi
sosial, yang dibentuk, diperkuat, disosialisasikan secara evolusional dalam
jangka waktu yang lama, baik melalui ajaran-ajaran agama, negara, keluarga
maupun budaya masyarakat, sehingga perlahan-lahan citra tersebut mempengaruhi
masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan secara biologis dan
psikologis.
Melalui proses sosialisasi, seseorang akan terwarnai
cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan proses sosialisasi,
seseorang “diharapkan” menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di
tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya, sehingga bisa menjadi
manusia masyarakat dan “beradab”.
Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar
kebudayaan dari anggota masyarakat dan hubungannya dengan sistem sosial.
Sosialisasi menitikberatkan pada masalah individu dalam kelompok. Oleh karena
itu proses sosialisasi melahirkan kedirian dan kepribadian seseorang.
(Soelaeman, 1998:109)
Kedirian sebagai suatu produk sosialisasi, merupakan
kesadarn terhadap diri sendiri dan memandang adanya pribadi orang lain di luar
dirinya. Adapun asal mula
timbulnya kedirian antara lain karena:
a) Dalam proses sosialisasi seseorang
mendapat bayangan dirinya, yaitu setelah memperhatikan cara orang lain
memandang dan memperlakukan dirinya. Misalnya, apakah dirinya dianggap baik,
buruk, pintar, cantik dan sebagainya.
b) Dalam proses sosialisasi juga membentuk kedirian
yang ideal. Orang yang bersangkutan mengetahui dengan pasti apa-apa yang harus
dia lakukan agar memperoleh penghargaan dari orang lain.
Proses sosisalisasi sebenarnya berawal dari dalam keluarga. Gambaran diri seseorang merupakan pantulan perhatian yang diberikan keluarga kepada dirinya. Persepsinya tentang diri, tentang dunia dan masyarakat sekelilingnya secara langsung dipengaruhi oleh tindakan dan keyakinan keluarganya. Sehingga nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang individu dan berbagai peran yang diharapkan dilakukan olehnya, smeua berawal dari dalam lingkungan sendiri.
Proses sosialisasi ini tidak berhenti sampai pada
keluarga saja, tapi masih ada lembaga lain. Cohan (1983) mengatakan bahwa
lembaga-lembaga sosialisasi yang terpenting ialah keluarga, sekolah, kelompok
sebaya dan media massa.
Sosialisasi pada dasarnya menunjuk pada semua faktor dan
proses yang membuat setiap manusia menjadi selaras dalam hidupnya di
tengah-tengah orang lain. Sehingga meskipun proses sosialisasi yang dijalani
setiap orang tidak selalu sama, namun secara umum sasaran sosialisasi itu
sendiri hampir sama di berbagai tempat dan budaya, yaitu antara lain:
a) Individu harus diberi
ilmu pengetahuan (keterampilan) yang dibutuhkan bagi kehidupan kelak di
masyarakat.
b) Individu harus mampu
berkomunikasi secara efektif dan mengembangkan kemampuannya.
c) Pengendalian
fungsi-fungsi organik yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang
tepat.
d) Bertingkah laku selaras
dengan norma atau tata nilai dan kepercayaan pokok yang ada pada lembaga atau
kelompok khususnya dan masyarakat umumnya.
B.
Sosialisasi Peran Gender
Pranata sosial yang kita masuki segabai individu,
sejak kita memasuki keluarga pada saat lahir, melalui pendidikan, kultur
pemuda, dan ke dalam dunia kerja dan kesenangan, perkawinan dan kita mulai
membentuk keluarga sendiri, memberi pesan yang jelas kepada kita bagaimana
orang “normal” berperilaku sesuai dengan gendernya.(Mosse, 1996:63)
Karena konstruksi sosial budaya gender, seorang laki-laki misalnya
haruslah bersifat kuat, agresif, rasional, pintar, berani dan segala macam
atribut kelelakian lain yang ditentukan oleh masyarakat tersebut, maka sejak
seorang bayi laki-laki lahir, dia sudah langsung dibentuk untuk “menjadi’
seorang laki-laki, dan disesuaikan dengan atribut-atribut yang melekat pada
dirinya itu. Demikian pula halnya dengan seorang perempuan yang karena dia
lahir dengan jenis kelamin perempuan maka dia pun kemudian dibentuk untuk
“menjadi” seorang perempuan sesuai dengan kriteria yang berlaku dalam suatu
masyarakat dan budaya dimana dia lahir dan dibesarkan, misalnya bahwa karena
dia dilahirkan sebagai seorang perempuan maka sudah menjadi “kodrat” pula bagi dia untuk menjadi
sosok yang cantik, anggun, irrasional, emosional dan sebagainya.
Proses sosialisasi peran gender tersebut dilaksanakan melalui berbagai cara, dari mulai
pembedaan pemilihan warna pakaian, accessories, permainan, perlakuan dan
sebagainya yang kesemuanya diarahkan untuk mendukung dan memapankan proses
pembentukan seseorang “menjadi” seorang laki-laki atau seorang perempuan sesuai
dengan ketentuan sosial budaya setempat.
Pembedaan identitas berdasarkan gender tersebut telah ada
jauh sebelum seseorang itu lahir. Sehingga ketika pada akhirnya dia dilahirkan
ke dunia ini, dia sudah langsung masuk ke dalam satu lingkungan yang
menyambutnya dengan serangkaian tuntutan peran gender. Sehingga seseorang terpaksa menerima identitas gender yang sudah disiapkan untuknya dan
menerimanya sebagai sesuatu hal yang benar, yang alami dan yang baik. Akibatnya
jika terjadi penyimpangan terhadap peran gender
yang sudah menjadi bagian dari landasan kultural masyarakat dimana dia hidup,
maka masyarakat pun lantas menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif
bahkan mungkin sebagai penentang terhadap budaya yang selama ini sudah mapan.
Dan sampai sejauh ini yang sering menjadi korban adalah kaum perempuan.
Sebagai contoh dalam adat budaya Jawa di Indonesia,
seorang budayawan terkemuka, Umar Kayam, mengungkapkan bahwa sebutan wanita
sebagai kanca wingking (teman di
belakang) merupakan pengembangan dialektika budaya adiluhung. Sosok budaya inilah yang berkembang di bawah ilham
“halus – kasar” yang secara tegar menjelajahi semua sistem masyarakat Jawa.
Sistem kekuasaan feodal aristokratik, demikian Kayam, telah menetapkan wanita
untuk memiliki peran atau role
menjadi “penjaga nilai-nilai halus-kasar dan adiluhung” di dalam rumah.(Kompas, 23 Oktober 1995)
Penjajahan kultural yang demikian panjang dan membuat
perempuan lebih banyak menjadi korban itu terus dilestarikan. Tidak jarang,
alasan-alasan kultural memberikan legitimasi sangat ampuh. Ia dicekokkan
melalui pelbagai pranata sosial dan adat istiadat yang mendarahdaging dalam
jantung kesadaran anggotanya. Rasionalisasi kultural inilah yang pada
gilirannya membuat perempuan secara psikologis mengidap sesuatu yang oleh
Collete Dowling disebut Cinderella
Complex, suatu jaringan rasa takut yang begitu mencekam, sehingga kaum
wanita merasa tidak berani dan tidak bisa memanfaatkan potensi otak dan daya
kreativitasnya secara penuh. (Ibrahim dan Suranto, 1998:xxvi)
Sosialisasi yang jika kita cermati pengertiannya, yaitu
merupakan sebuah proses yang membantu individu melalui belajar dan penyesuaian
diri, bagaimana bertindak dan berpikir agar ia dapat berperan dan berfungsi
baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. (Noor, 1997:102) telah
juga dilakukan tidak hanya melalui lembaga keluarga dan lembaga adat, melainkan
juga oleh lembaga negara dan lembaga pendidikan.
Pemapanan citra
bahwa seorang perempuan itu lebih cocok berperan sebagai seorang ibu dengan
segala macam tugas domestiknya yang selalu dikatakan sebagai “urusan
perempuan”, seperti membersihkan rumah, mengurus suami dan anak, memasak,
berdandan dan sebagainya. Sementara citra laki-laki, disosialisasikan secara
lebih positif, dimana dikatakan bahwa laki-laki karena kelebihan yang
dimilikinya maka lebih sesuai jika dibebani dengan “urusan-urusan laki-laki”
pula dan lebih sering berhubungan dengan sektor publik, seperti mencari nafkah,
dengan profesi yang lebih bervariasi daripada perempuan. Kesemua itu
disosialisasikan sejak dari kelas satu Sekolah Dasar melalui buku-buku pelajaran
di sekolah hingga Panca Dharma Wanita, yang menyatakan bahwa tugas utama
seoarang perempuan adalah sebagai “pendamping” suami, dan itulah yang diyakini
secara salah oleh sebagian orang sebagai “kodrat wanita.”
PENYEBAB TERJADINYA GENDER
- gender terjadi karena adanya perbedaan
antara laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya psikologis dan dalam hal
profesi dimana laki-laki lebih banyak berperan dalam mencari nafkah
- AKIBAT TERJADINYA GENDER
POSITIVE:
-
Dimana
laki-laki dan perempuan bisa saling bertukar peran
-
Dimana
saling menguntungkan antara satu sama lain(mutualisme)
NEGATIVE:
-
Kadang
terjadi konflik antara peran mereka\
-
Kadang
terjadi ketidaksetaraan gender contohnya dimana dalam hal peran mencari nafkah
suami lebih berperan dibandingkan istri karena disebabkan oleh pola pikir suami
yang pada hakikatnya yang boleh mencari nafkah hanya suami saja dan istri hanya
mengerjakan pekerjaan rumah tangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar