Kamis, 24 Oktober 2013

budidaya coral,di poutere,

I.              PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Indonesia yang merupakan salah satu Negara agraris dan maritim dengan potensi wilayah yang ada yaitu panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km2 menempatkan sektor pertanian dan perikanan sebagai titik berat perekonomian. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan meski selama lima puluh tahun terakhir telah terjadi perkembangan yang cukup pesat di bidang ilmu ekonomi dan biologi yang dapat di aplikasikan untuk menjawab permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan, pengelolaan dan pembangunan, sumberdaya perikanan masih dirasakan relative kompleksdi banding land based resource (Dahuri, 2001).
Mengingat pertumbuhan penduduk Indonesia yang relatif cepat yaitu 2,34% menurut hasil sensus kependudukan 1981, maka kita harus selalu mencari upaya untuk meningkatkan produksi komoditi yang telah ada dan di lain pihak mencari sumber-sumber produksi baru yang dapat menambah penghasilan negara dan juga memperbesar lapangan kerja. Meskipun kegiatan-kegiatan yang ada di darat tetap akan mendominir perekonomian kita untuk waktu yang masih lama, namun pendayagunaan sumberdaya laut merupakan tantangan dan kemungkinan yang sangat besar untuk perkembangan perekonomian Indonesia di masa datang. Hal ini antara lain disebabkan bahwa pendayagunaan sumber daya alam laut dan wilayah pesisir akan mempunyai peranan ganda. Disatu pihak akan meningkatkan lapangan kerja, tetapi di lain pihak juga akan meningkatkan pendapatan negara.
   Permasalahan dalam pembangunan kawasan sumberdaya perikanan dari segi  wilayahnya, banyak ditemui berbagai hal yang kontradiktif, antagonistic dalam hubungannya antar potensi sumberdaya bagi kawasan pesisir dan kelautan. Interaksi antar masyarakat dengan komponen lingkungan hidup lain dalam kaitanya dengan pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya alam mempunyai pengaruh yang nyata. Dampak atau akibat yang ditimbulkan oleh pola interaksi yang terbentuk tersebut menghasilkan kondisi lingkungan hidup. Hal ini selanjutnya akan membantu dalam merumuskan permasalahan lingkungan yang dihadapi daerah pesisir  (Dahuri, 2001).
            Produksi ikan sampai saat ini mencapai 75% dari penangkapan, sedangkan sisanya berasal dari kegiatan budidaya. Lebih dari 90% penangkapan ikan di perairan darat, seperti sungai dan danau, berada di Kalimantan dan Sulawesi,sedangkan jenis ikan yang dibudidayakan di tambak air payau dan air tawar banyak di lakukan di Pulau Jawa. Tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan terbesar di Indonesia barada di Selat Malaka. Hal ini memilki implikasi ekonomi yang cukup penting dan memerlukan usaha manajemen perikanan yang tepat (Agus, 1997).
   Ilmu ekonomi pada umumnya dapat  diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang bagaimana tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun sebagai masyarakat, berusaha memenuhi kebutuhan dari berbagai alat pemuas kebutuhan atau sumberdaya yang terbatas adanya oleh karena itu, manusia atau masyarakat harus memilih diantara kebutuhan atau sumberdaya itu dan juga memilih diantara kebutuhan yang harus dipenuhinya.
Dewasa ini sumberdaya alam dan lingkungan telah menjadi barang langka akibat tingkat ekstraksi yang berlebihan over-exploitation dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan. Kendati ia secara ekonomi dapat meningkatkan nilai jual, namun di sisi lain juga bisa menimbulkan ancaman kerugian ekologi yang jauh lebih besar, seperti hilangnya lahan, langkanya air bersih, banjir, longsor, dan sebagainya (Anonim, 2007).
Peningkatan kontribusi perikanan harus diupayakan secara berhati-hati dalam rangka pembangunan nasional, agar tidak menimbulkan dampak negative dimasa yang akan datang. Disinilah peranan pengelolaan potensi perikanan menjadi sangat strategis.
Berdasarkan hal tersebut diatas dapat memberikan pandangan tentang perlunya melaksanakan praktek lapang Ekonomi sumberdaya Perikanan.
B.  Tujuan Dan Kegunaan
Tujuan dilaksanakannya praktek lapang Ekonomi Sumberdaya Perikanan adalah untuk mengetahui kondisi penggunaan sumberdaya perikanan, keadaan produksi sumberdaya perikanan, peranan kelembagaan ekonomi sumberdaya masyarakat pesisir, pengelolaan sumberdaya perikanan, dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Kegunaan dilaksanakannya praktek lapang ini adalah sebagai bahan perbandingan antara teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan yang diperoleh dibangku kuliah dengan realitas yang terjadi di lapangan.









II .    TINJAUAN PUSTAKA
A.  Pengertian Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi secara konvensional sering didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana manusia mengalokasikan sumberdaya yang langka. Dengan demikian, ilmu ekonmi sumberdaya alam dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pengalokasian sumberdaya alam seperti air, lahan, ikan, hutan. Secara ekplisit ilmu ini mencari jawaban seberapa besar sumberdaya harus diekstraksi sehingga menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat (Fauzi, 1997).

B.  Pengertian Sumberdaya
Sumberdaya adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan, dapat berupa barang maupun barang konsumsi. Yang dimaksud dengan sumberdaya dalam proses produksi tidak hanya meliputi tanah, mineral dan bahan bakar, tetapi juga tenaga kerja, kapital maupun valuta asing. Pada umumnya prinsip-prinsip dalam ekonomi sumberdaya alam tidak terlalu khusus dan masih akan menggunakan prinsip-prinsip  analisis pada umumnya.  Barang-barang sumberdaya alam tidaklah bebas adanya sehingga untuk memperolehnya memerlukan pengorbanan. Dengan kata lain barang-barang langka adanya dan memiliki barang alternatif. Penggunaan alternatif itu dapat merupakan penggunaan sekarang dan penggunaan akan datang dengan kata lain dimensi pilihan itu meliputi pilihan saat ini dan saat mendatang (Suparmoko, 1997).
Potensi sumberdaya kelautan dapat digolongkan dalam 4 kategori yakni 1) sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources), 2) sumberdaya alam yang tidak dapat pulih (unrenewable resources), 3) sumber-sumber energi kelautan, dan 4) jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services).
Sumberdaya alam yang dapat pulih meliputi sumberdaya ikan (berbagai jenis ikan, kerang-kerangan, udang, kepiting, ubur-ubur, dan biota perairan laut lainnya), hutan mangrove, padang lamun & rumput laut, dan terumbu karang. Potensi lestari ikan laut Indonesia – yang berarti jumlah ikan yang dapat diproduksi dari laut setiap tahun secara kontinu tanpa menganggu eksistensi dan keberlanjutan sumberdaya tersebut -- diperkirakan mencapai 6,4 juta ton per tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan 5 juta ton per tahun. Seluruh potensi perikanan tangkap diperkirakan memiliki nilai ekonomi US$ 15,1 miliar (Miranty, 2006).
Dari sumberdaya yang tidak dapat pulih (unrenewals resources) potensi Indonesia juga luar biasa besarnya, antara lain minyak bumi dan gas, bauksit, timah, bijih besi, dan bahan tambang dan mineral lainnya. Dari 60 cekungan minyak yang ada di Indonesia, sekitar 70 persen (40 cekungan) terdapat di laut, yang berpotensi menghasilkan 106,2 miliar barel setara minyak. Dari sisi sumberdaya energi laut, yang berpotensi dikembangkan adalah Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan angin. Potensi kelautan yang berkaitan dengan jasa-jasa lingkungan adalah lokasi-lokasi indah untuk wisata bahari, jasa transportasi laut, sumber plasma nutfah (genetic resources) (Miranty, 2006).
          Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih/dapat memperbaharui diri. Disamping sifat renewable, menurut Widodo dan Nurhakim (2002) dalam Suyasa (2003), sumberdaya ikan pada umumnya mempunyai sifat “open access” dan “common property” yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Sifat sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain :
1)     Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan   (over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employment).
2)     Perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh Negara (state property rights), oleh masyarakat (community property rights) atau oleh swasta/perorangan (private property rights).
Dengan sifat-sifat sumberdaya seperti diatas, menjadikan sumberdaya ikan bersifat unik, dan setiap orang mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut dalam batas-batas kewenangan hukum suatu Negara (Suyasa, 2003).
   Sumberdaya alam mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di suatu Negara (khususnya Negara sedang berkembang), dimana semakin tinggi pertumbuhan ekonominya, akan mengakibatkan persediaan sumberdaya alam yang tersedia akan semakin berkurang.   Hal ini karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan selalu menuntut adanya barang sumberdaya dalam jumlah yang tinggi pula, dan barang sumberdaya ini diambil dari persediaan sumberdaya alam yang ada. Dengan demikian, terdapat hubungan yang “positif” antara jumlah barang sumberdaya dengan pertumbuhan ekonomi, disamping juga hubungan yang “negative” antara persediaan sumberdaya alam dengan pertumbuhan ekonomi (Suyasa, 2003).
Pengertian deplesi disini adalah suatu cara pengambilan sumberdaya alam secara besar-besaran, yang biasanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan mentah. Dalam kaitannya dengan sumberdaya perikanan yang sifatnya dapat diperbaharui, tindakan deplesi walaupun dapat diimbangi dengan kegiatan konservasi akan tetap melekat dampaknya terhadap lingkungan dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulihkannya. 
Sumberdaya yang bersifat milik bersama memilki 3 (tiga) sifat khusus yang dikemukakan menurut Nikijuluw (2002) dalam Suyasa (2003).   Ketiga sifat khusus tersebut adalah :
1)     Ekskludabilitas
Sifat ini berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya.   Upaya pengendalian dan pengawasan ini menjadi sulit dan sangat mahal oleh karena  sifat phisik sumberdaya ikan yang dapat bergerak, disamping lautan yang cukup luas.   Dalam kaitan ini, orang akan dengan mudah memasuki area perairan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada didalamnya, sementara disisi lain otoritas menejemen sangat sulit untuk mengetahui serta memaksa mereka untuk keluar.
2)     Substraktabilitas
Substraktabilitas adalah suatu situasi dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki oleh orang lain. Dalam kaitan ini, meskipun para pengguna sumberdaya melakukan kerjasama dalam pengelolaan, akan tetapi kegiatan seseorang di dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia akan selalu berpengaruh secara negatif pada kemampuan orang lain didalam memanfaatkan sumberdaya yang sama. Dengan demikian, sifat ini pada dasarnya akan menimbulkan persaingan yang dapat mengarah pada munculnya konflik antara rasionalitas individu dan kolektif.
3)     Indivisibilitas
Sifat ini pada hakekatnya menunjukkan fakta bahwa sumberdaya milik bersama adalah sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun secara adminstratif pembagian maupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas menejemen.
Uraian diatas memberikan peringatan kepada kita bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, apabila dilakukan tidak secara berhati-hati akan dapat mengguras persediaan sumberdaya alam yang ada. Kondisi ini pada gilirannya nanti akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan harus dilakukan secara bijaksana, dengan selalu mempertimbangkan sisi positif dan negatifnya.
Masalah sumberdaya milik bersama pada hakekatnya berkaitan erat dengan persoalan-persoalan eksploitasi atau pemanfaatan yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh karena adanya pendapat masyarakat yang mengatakan bahwa sumberdaya milik bersama adalah sumberdaya milik setiap orang. Oleh karena itu, dapatkan sumberdaya tersebut selagi masih baik dan mengapa kita harus menghematnya, sementara orang lain menghabiskannya.

Kondisi diatas mengakibatkan sumberdaya milik bersama seperti halnya sumberdaya ikan adalah memungkinkan bagi setiap orang atau perusahaan dapat dengan bebas masuk untuk mengambil manfaat. Selanjutnya, dengan adanya orang atau perusaahan yang berdesakan karena bebas masuk, maka akan terjadi interaksi yang menguntungkan dan secara kuantitatif berupa biaya tambahan yang harus diderita oleh msing-masing orang atau perusaahan, sebagai akibat keadaan yang berdesakan tersebut. Dengan demikian, secara prinsip sumberdaya milik bersama yang dicirikan dengan pengambilan secara bebas maupun akibat-akibat lain yang ditimbulkan seperti biaya eksternalitas (disekonomis) dan lain sebagainya, akan menimbulkan kecenderungan pengelolaan secara deplesi
  Sumberdaya ikan masih berperan penting sebagai sumber mata pencaharian, lapangan kerja, dan protein ikani bagi beberapa negara. Diperkirakan peningkatan jumlah penduduk dunia dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik akan mendorong peningkatan permintaan produk ikan. Apalagi negara-negara di Asia selain menjadi produsen ikan terbesar juga menjadi konsumen utama dari hasil perikanan.
Di satu sisi, peran ekonomi dan sosial pemanfaatan sumberdaya ikan nampak masih sangat besar besar, sehingga telah memberikan ruang bagi pengembangan perikanan lebih luas khususnya perikanan laut yang secara kuantitafi produksinya mencapai lebih dari 70% total produksi ikan di Indonesia. Di sisi lain, kelangkaan dan kerusakan sumberdaya ikan dan habitatnya semakin meluas, yang dikhawatirkan pada gilirannya berimbas pada berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Menurut data FAO diperkirakan lebih dari 60% stok ikan dunia telah diekploitasi pada tingkat penuh sampai tingkat rusak (depleted), dan diantaranya tidak lebih dari 1% yang pulih kembali. (Anonim, 2006).
Sumberdaya perikanan juga tergolong sumberdaya yang dapat pulih tetapi dibatasi oleh factor pembatas alami dan factor pembatas non alami. Faktor pembatas alami adalah factor-faktor penghambat ketersedian ikan dari ekosistem itu sendiri, seperti ketersedian makanan, predator, persaingan ruang dan sebagainya. Sedangkan factor non alami adalah factor- factor penghambat ketersedian ikan yang disebabkan oleh kegiatan eksploitasi dan pencemaran (Pasaribu dkk, 2005).
C.  Permasalahan Perikanan Indonesia
Alat penangkapan ikan khususnya di perairan pesisir pantai merupakan masalah yang kompleks dan penting untuk segera dicarikan pemecahannya. Pemanfaatan sumberdaya ikan yang tidak terkendalikan di beberapa wilayah perairan telah menyebabkan degradasi yang sangat tajam akan stok sumberdaya ikan dan ekologi perairan. Banyak alat tangkap (baika dalam jenis maupun jumlah) yang terkonsterasi di pantai, diyakini telah mendorong tingginya tekanan penangkapan dan kompetisi antar nelayan. Disisi lainnya, nasib nelayan sebagai pelaku utama dalam perikanan, belum juga terentaskan. Bertambahnya nelayan yang tidak terkontrol, di beberapa wilayah perairan ditengarai telah melampaui batas maksimum, sehingga keberadaannya perlu dievaluasi lebih lanjut.
Pengaturan sumberdaya ikan yang didasarkan pada penghitungan jumlah stok ikan dan beberapa metoda pengaturan penangkapan iakn sudah banyak dilakukan. Namun demikian, usaha-usaha tersebut belum juga memperlihatkan kemajuan yang menggembirakan. Bahkan, angka-angka potensi sumberdaya ikan yang dijadikan dasar pengelolaan sumberdaya ikan sering dilakukan keberadaannya dan tidak jarang menjadi bahan perdebatan berkaitan dengan angka-angka yang kurang sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Bertolak dari fakta-fakta tersebut di atas, maka sudah waktunya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk segera membenahi model pengelolaan perikanan khususnya perikanan skala kecil di pesisir pantai dengan menerapkan Manajement of Fishing Capacity seperti yang dihimbau FAO.
Besaran kapasitas maksimum suatu perikanan meskipun tidak memberikan jawaban kuantitatif, pendekatan fishing capacity layak untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Di samping karena metoda yang dikembangkan tidak memerlukan data yang sulit, metoda penghitungan fishing capacity juga sangat cocok untuk dikembangkan di negara-negara berkembang di mana sistem pendataannya kurang begitu sempurna. Dibandingkan dengan metoda penghitungan analitik konvensional yang relatif sulit dan memerlukan waktu yang relatif panjang, pendekatan fishing capacity memberikan alternatif pemecahan bagi pengelolaan sumberdaya ikan secara cepat dan sederhana dengan tingkat keilmiahan yang biasa dipertanggungjawabkan (Wiyono, 2005).








III.     METODOLOGI PRAKTEK
A.     Waktu dan Tempat
Praktek lapang Ekonomi Sumberdaya Perikanan dilaksanakan pada hari Sabtu, 10 Mei 2008, di Jalan Sabutung No.3 Paotere, Kelurahan Gusung, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar.

B.  Metode Praktek
Metode pengambilan data yaitu :
Ø    Obsevasi         : Teknik penelitian dengan melihat langsung dan kondisi daerah sekitar.
Ø    Wawancara    : Teknik penelitian dengan wawancara langsung dengan masyarakat setempat dengan menggunakan kuisioner
Ø    Studi pustaka  : Membandingkan data hasil yang di dapat dari lapangan dengan data dari pustaka.

C.     Sumber Data
Sumber data yang dikumpulkan dalam praktek lapang Ekonomi Sumberdaya Perikanan, antara lain :
a. Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara langsung kepada beberapa responden dengan menggunakan kuisioner serta observasi di lapangan.
b. Data sekunder diperoleh melalui studi berbagai pustaka dan melalui laporan-laporan instansi pemerintah dan swasta terkait.

D. Analisis Data
          Adapun danalisis data yang digunakan pada praktek lapang Ekonomi Sumberdaya Perikanan, yaitu :
Π = TR – TC
Di mana,
     Ket :    Π  = Keuntungan
                TR = Total Revenue
                TC = Total Cost     
















IV.     HASIL DAN PEMBAHASAN


A.  Letak Geografis Lokasi Praktek
Koperasi Insan Perikanan terletak di Jalan Sabutung No.3 Paotere Kelurahan Gusung, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar. Adapun daerah-daerah yang berbatasan dengan Kelurahan Gusung, antara lain :
-       Sebelah Utara berbatasan Selat Makassar
-       Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Pattingalloang
-       Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Tamalabba (Kompleks TNI AU)
-       Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Cambayya.
Paotere merupakan tempat bertemunya sandang pangan warga Kota Makassar, dan tempat bertemunya antara pembeli dan penjual hasil perikanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2007) bahwa menurut data statistik Pemkot Makassar, ditaksir sekitar 30 persen masyarakat Kota Makassar adalah masyarakat nelayan yang berada di kawasan pesisir Makassar yang membentang dari Barombong hingga Paotere dan ke-11 pulau ini. Di mana wilayah pesisir merupakan spasial ke arah darat di mana pengaruh laut masih ada terutama pengaruh pasang surut (batas ekosistem air payau) dank e arah laut di mana pengaruh darat masih dominan (batas sedimentasi sungai).

B.  Sarana dan Prasarana Lokasi Praktek
1.    Pengadaan dan Kondisi Sarana PPI Paotere
a.    Pengadaan Sarana PPI
Pengadaan sarana PPI Paotere Kota Makassar atas program bersama antara Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan dengan Direktorat Jenderal Perikanan melalui Proyek Pengembangan dan Pembangunan Prasarana Perikanan Tahun Anggaran 1991/ 1992 yang dananya bersumber dari bantuan Luar Negeri (ADB) sebesar RP. 981.222.000,- dan APBN sebesar Rp. 55.910.000,-. Pembangunan Fisik dilaksanakan selama 11 (sebelas) bulan, mulai dari bulan Maret 1991 sampai dengan Januari 1992 dan mulai difungsikan Nelayan pada bulan Maret 1992, dengan rincian sebagai berikut :
Tabel 1. Jenis Sarana PPI Paotere
No.
Jenis Sarana
Unit
1.
Sarana dibengun melalui dana bantuan Luar Negeri (ADB).
16 Unit
2.
Bersumber dari dana APBD ii Kota Makassar.
3 Unit
3.
Swadaya nasyarakat melalaui Koperasi INsan Perikanan PPI Paotere Makassar.
1 Unit
           
Untuk tahun anggaran 2004, merehabilitasi beberapa sarana yaitu dengan anggaran Rp. 348.059.000,- yaitu :
1.    Renovasi saluran air (Got) 150 M
2.    Pemasangan paping blok bahagian pelataran areal parker
3.    Pemasangan tegel pada bagian took koperasi, tempat penjualan es balok dan sebahagian pelataran ikan
4.    Pengecoran tiang lampu penerangan dermaga sebanyak 2 buah
b.    Pemanfaatan Fasilitas Sarana PPI Paotere Kota Makassar
Bertitik tolak dari pendayagunaan PPI yaitu kemampuan untuk menggerakkan unsur yang terkait di dalam pemanfaatan fasilitas sarana PPI Paotere yang dapat memberikan kemudahan dan keuntungan bagi usaha nelayan, maka oleh pihak pengelola PPI Paotere telah bekerja sama dengan Koperasi Nelayan Insan Perikanan dengan kerukunan Nelayan Beringin Andalan PPI Paotere sebagai mitra kerjasama dalam pengelollan beberapa fasilitas yang tersedia dapat berfungsi sebagaimana mestinya, dan juga dapat menunjang kelancaran pemasukan PAD (Pendapatan Asli Daerah), Pemberian sebahagian fasilitas sarana PPI Paotere Kepada Organisasi Nelayan berdasarkan Surat Departemen dalam Negeri No.523/ 2657/ PUOD, Tanggal 19 Juli 1998 dan Surat Ederan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomer 412,32/ 3722/ Sekda Tanggal 5 Desember 1983. Adapun fasilitas sarana PPI Paotere yang dikelola Insan Perikanan di antaranya :
1.    Toko Nelayan
2.    Gudang Es balok dan Pengadaan Es balok
3.    Sarana BBM (Solar)
4.    Air Bersih dari PDAM
5.    Pemungutan Jasa Pelelangan
6.    Pemungutan Jasa Tambat Labuh
7.    Gedung pemeliharaan Ikan
8.    Cold Room

2.    Kegiatan Operasional PPI Paotere
a.    Organisasi dan Personil PPI Paotere
Sebagai Tindak Lanjut dari Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah TK I Sulawesi Selatan No.427/ IV/ 1992 Tentang Penyerahan Pengelolaan PPI Paotere Kepada Pemerintah Kota Makassar, maka oleh Walikota Makassar menerbitkan Surat Keputusan No.820.3-52/ 92 Tanggal 27 Juli 1992, tentang petugas pengelola PPI Paotere. Jumlah Petugas pengelola PPI Paotere sebanyak 20 orang terdiri dari :
a.    Petugas Administrasi
b.    Petugas Retribusi/ Jasa
c.    Petugas Kebersihan
d.    Petugas Pengamanan
Pengadaan sarana PPI Paotere sangatlah bermanfaat dilaksanakan agar operasional sarana PPI Paotere dapat terstruktur dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2006) bahwa sarana kawasan nelayan adalah fasilitas penunjang kawasan nelayan yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, social dan budaya kehidupan dan penghidupan nelayan, misalnya tempat penjemuran ikan, tempat pembuatan jaring, dan tempat penjualan ikan.
b.    Kegiatan Usaha Nelayan
1.    Jumlah Nelayan
Kegiatan usaha nelayan di PPI Paotere Kota Makassar di bawah koordinasi langsung oleh Koperasi Insan Perikanan PPI Paotere dan Kerukunan Nelayan Beringin Andalan PPI Paotere, sehingga para nelayan di dalam peningkatan usahanya cukup berjalan lancar, semua kebutuhan nelayan selalu siap kapan saja nelayan membutuhkannya.
Selama tahun 2006 jumlah nelayan yang memadati PPI Paotere setiap harinya mencapai antara 875 sampai dengan 2.000 orang terdiri dari :
Tabel 2. Jenis Usaha dan Jumlah Pekerja PPI Paotere
No.
Jenis Usaha
Jumlah Nelayan/ Pekerja
1.
Nelayan Bakul/ Pedagang
660 s/d 1.000 orang
2.
Nelayan Penggarap
460 s/d 1.000 orang
3.
Pengusaha Perikanan
30 s/d 60 orang
4.
Pengunjung Biasa
100 s/d 250 orang

2.    Armada/ Kapal Perikanan
Jumlah armada kapal perikanan yang bermosili di PPI Paotere sampai akhir tahun 2006 sebanyak 600 buah, dengan perincian sebagai berikut :
Tabel 3. Jumlah Armada Kapal Perikanan PPI Paotere
No.
Jenis Kapal
Jumlah Armada
1.
Kapal motor 3 s/d 10 GT
250 buah
2.
Kapal motor 1 s/d 2.5 GT
350 buah

Dari 600 buah, 250 buah diantaranya merupakan penangkap ikan dan selebihnya merupakan pengangkut ikan.
Dari jumlah yang kami sebutkan di atas, setiap harinya melakukan kegiatan pendaratan di dermaga antara 20 s/d 200 buah dengan volume pendaratan setiap bulannya mencapai 1.300 s/d 4.700 kali pendaratan dan pada umumnya kapal-kapal yang mendaratkan hasil tangkap ikannya berasal dari Kabupaten Daerah Takalar, Pangkep, Maros, Selayar, dan Pulau-Pulau sekitar Kota Makassar.
Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2003) bahwa Armada penangkapan ikan di Indonesia yang beroperasi di ketiga wilayah perairan laut seperti yang telah dikemukakan sebelumnya (perairan pantai, nusantara dan ZEEI) menurut data tahun 1995, masing-masing : nelayan tradisional (perahu tanpa motor sebesar 229.337 dan perahu motor tempel sebesar 77.779 buah), nelayan semi tradisional (perahu motor < 10 GT sebanyak 45.049), nelayan semi industri dan industri ( kapal motor > 10 GT sebanyak 7.003 buah).
3.    Alat Tangkap
Dalam menunjang kegiatan produksi para nelayan menggunakan alat tangkap sebanyak 329 unit terdiri dari :



Tabel 4. Jenis Alat Tangkap
No.
Jenis Alat Tangkap
Unit
1.
Purse seine/ Gae
10 Unit
2.
Pukat/ Gill net
5 Unit
3.
Payang
3 Unit
4.
Pancing
291 Unit
5.
Cantrang
20 Unit
6.
Lain-lain
-        

Dari jumlah alat tangkap yang diopersikan nelayan, yang paling dominan penggunaanya dilihat dari jumlah hasil tangkapan ikan yang diperoleh selama 1 tahun berjumlah (2006) yaitu Purse Seine, Gill Net, Pancing, dan Cantrang. Sebagai gambaran dapat kami sajikan data perolehan hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Paotere untuk perjenis alat tangkap.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa di kawasan Paotere dibatasi penggunaan jenis alat tangkap. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiadnya, dkk (2005) bahwa beberapa wilayah perairan laut yang sudah mengalami tangkap lebih, sementara beberapa wilayah lainnya masih berada dalam kondisi tangkap kurang.

C.  Keadaan Umum Responden
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa  responden baik nelayan maupun Pedagang Pengumpul dapat diketahui bahwa  nama masing-masing responden Abdul Sofyan, dan Dg. Ngemba yang lebih jelasnya profil masing-masing responden dapat dilihat pada tabel 5 sebagai berikut :




Tabel 5. Keadaaan Umum Responden Paotere, Kelurahan Gusung, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar.

No.
Nama Responden
Umur (tahun)
Pendidikan
Pekerjaan Pokok
Pekerjaan Sampingan
Pengalaman Usaha
1.
Abdul Sofyan
60 tahun
SD
Nelayan, Juragan Ikan
-
Jual coto
2.
Dg. Ngemba
45 tahun
SD
Menjual ikan
-
-

Dari wawancara di atas dapat dilihat bahwa Bapak Abdul Sofyan yang berumur 60 tahun di mana pendidikan terakhirnya yaitu SD dengan pekerjaan pokok sebagai nelayan dan juragan ikan, dan pengalaman usahanya menjual coto. Kemudian responden kedua Bapak Dg. Ngemba yang berusia 45 tahun di mana pendidikan terakhirnya yaitu SD dengan pekerjaan pokok sebagai nelayan dan penjual ikan.
Dengan melihat tingkat pendidikan maka dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan seseorang tidak menjamin bahwa yang berpendidkan rendah akan kalah dengan orang yang berpendidikan lebih tinggi, seperti hasil wawancara responden Nelayan dan Pedagang Pengumpul di Paotere Keluruhan Gusung, Kecamatan Ujung Tanah yakni masing-masing yaitu Bapak Abdul Sofyan, dan Dg. Ngemba. Walaupun pendidikan terakhir sama-sama hanya sampai SD, namun penghasilan dari Bapak Dg. Ngemba lebih menentu yang hanya seorang Penjual ikan dibandingkan dengan Bapak Abdul Sofyan yang sebagai seorang Nelayan. Hal ini sesuai dengan pendapat Miranti (2006) bahwa Ditingkat produksi , industri Kelautan dan Perikanan Indonesia belum didukung oleh Sumberdaya manusia yang ahli dan berpengalaman.


D.  Produksi dan Produktivitas
a.    Nelayan
Tabel 6. Jenis Alat Tangkap, Hasil Tangkapan, dan Harga Jual
No.
Jenis Alat Tangkap
Jenis Hasil Tangkapan
Lama Operasi
Daerah Operasi
Waktu Musim Penangkapan
Nilai Jual (Ekor/ Kg)
Tempat Penjualan
1.
Jaring
Mairo, Layang
1 malam
Pangkep
Bulan Purnama Tidak turun
Rp. 20.000,- s/d Rp. 35.000,-
PPI Paotere
2.
Pancing
Ikan Tenggiri
1 hari
Pangkep
Bulan Purnama Tidak turun
Rp. 35.000,- s/d Rp. 40.000,-
PPI Paotere

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui jenis alat tangkap dan  jenis hasil tangkapan oleh Bapak Abdul Sofyan menggunakan jenis alat tangkap jaring, dan pancing dengan hasil tangkapan yaitu pada jenis alat tangkap jaring hasil tangkapannya yaitu mairo, dan layang. Sedangkan pada alat tangkap pancing hasil tangkapannya yaitu ikan tenggiri.
Alat tangkap jaring lama operasi selama 1 malam, sedangkan alat tangkap pancing lama operasinya yaitu selama 1 hari. Dengan daerah pengoprasiannya di daerah pangkep. Namun waktu musim penangkapannya, mereka tidak turun pada saat bulan purnama. Nilai jual masing-masing ikan yakni ikan mairo sebesar Rp. 20.000,- dan ikan layang sebesar Rp. 25.000,- s/d Rp. 30.000,-. Masing-masing ikan tersebut di jual di TPI Paotere.
Dari uraian di atas bahwa nilai jual ikan – ikan yang diperoleh oleh nelayan sangat meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2004) bahwa kebutuhan tersebut terlihat sangat besar sekali apabila dilihat dari potensi lestari penangkapan ikan di perairan Indonesia yang diperkirakan mencapai 6,4 juta ton per tahun di mana yang boleh dieksploitasi hanya sekitar 5,5 juta ton per tahun. Sedangkan tingkat pemanfaatan saat ini masih sekitar 64 persen. Dengan tingkat pemanfaatan tersebut, sektor perikanan tangkap ini memiliki potensi yang besar untuk lebih dioptimalkan dalam rangka memenuhi konsumsi ikan dalam negeri dan memenuhi target ekspor hasil perikanan tangkap. Sementara itu, produksi ikan tangkap nasional pada tahun 2000 adalah sebesar 4,11 juta ton dan mengalami kenaikan rata-rata 5,11 %, pada tahun 2003 produksi ikan tangkap nasional adalah sebesar 4,73 juta ton.  
b.    Pedagang Pengumpul
Tabel 7. Jenis Produk, Jumlah Produk, dan Tempat Pengambilan
No.
Jenis Ikan
Jumlah (Keranjang/ Kg)
Tempat Pengambilan
Harga Jual
(Keranjang/ Kg)
Tempat Penjualan
1.
Ikan Cakalang
100 kg
PPI Paotere
Rp. 45.000,-
Pasar Perumnas
2.
Ikan Layang
150 kg
PPI Paotere
Rp.75.000,-
Pasar Perumnas
3.
Ikan Mairo
200 kg
PPI Paotere
Rp.35.000,-
Pasar perumnas
4.
Ikan Bandeng
7 keranjang
PPI Paotere
Rp.15.000,-
Pasar Perumnas
5.
Udang
3 kg
PPI Paotere
Rp.50.000,-
Pasar Perumnas

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa jenis ikan dan jumlah yang diambil yakni masing-masing ikan cakalang dengan 100 kg, ikan layang dengan 150 kg, ikan mairo dengan 200 kg, ikan bolu (bandeng) dengan 7 keranjang, dan udang dengan 3 kg. Adapun harga jualnya yakni antara lain ikan mairo sebesar Rp.35.000,-, ikan cakalang sebesar Rp.45.000,-, ikan laying sebesar Rp.75.000,-, udang sebesar Rp.50.000,-, dan ikan bolu sebesar Rp.15.000,-.
Dari uraian di atas bahwa harga jual ikan bervariasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2003) bahwa harga ikan yang dilelang ditentukan sepenuhnya oleh ponggawa darat atau bos. Jadi sebenarnya yang telah disebutkan tadi sebagai keuntungan lebih tepat jika disebut jasa ongkos kirim karena untuk membeli ia pun mendapat pinjaman dari ponggawa darat atau bos. Seorang ponggawa darat di PPI Paotere mengatakan keuntungan penjualan ikan yang didapat pabalolang maupun ponggawa tidak tentu, karena hasil mengumpulkan ikan tergantung pada produktivitas nelayan yang masih bergantung pada musim dan kondisi pasar.
Dengan melihat hasil produksi dan produktifitas di desa Pajukukang maka hal tersebut sesuai dengan pendapat Dahuri, dkk (2001) bahwa untuk meningkatkan harkat dan taraf hidup msyarakat pesisir maka perlu adanya kebijakan pemerintah untuk mendorong usaha yang dilakukan oleh masyarakat pesisir tersebut melalui penyediaan sarana dan prasrana yang mendukung usaha perikanan serta dilakukan penyuluhan-penyuluhan untuk memberikan pengetahuan masyarakat pesisir.

E.  Pendapatan Masyarakat Pesisir
1.    Penerimaan dan Pengeluaran Masyarakat Pesisir
a.    Nelayan
            1. Penerimaan Nelayan
·         Per Hari
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari Nelayan, maka dapat diketahui penerimaan Nelayan dalam per hari. Penerimaan nelayan dapat dilihat pada tabel berikut ini :




Tabel 8. Penerimaan Nelayan dalam Per Hari
No.
Pekerjaan
Pokok
Sampingan
Jenis Pekerjaan
Jumlah (Rp)
Jenis Pekerjaan
Jumlah (Rp)
1.
Nelayan
Rp.500.000,-
-
-
Jumlah
Rp.500.000,-
Jumlah
-

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Bapak Abdul Sofyan yang pekerjaan pokoknya sebagai seorang nelayan penghasilannya per hari yaitu Rp.500.000,-. Hal ini sesuai dengan pendapat Munira (2006) bahwa peningkatan pendapatan masyarakat merupakan salah satu unsur pokok dalam pembangunan ekonomi. Persoalan pembangunan ekonomi di Negara-negara yang sedang berkembang adalah berhubungan langsung dengan rendahnya tingkat hidup masyarakat yang diukur dalam pendapatan masyarakat dapat ditingkatkan.
·         Per Bulan
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari Nelayan, maka dapat diketahui penerimaan Nelayan dalam per bulan. Penerimaan nelayan dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 9. Penerimaan Nelayan dalam Per Bulan     
No.
Pekerjaan
Pokok
Sampingan
Jenis Pekerjaan
Jumlah (Rp)
Jenis Pekerjaan
Jumlah (Rp)
1.
Nelayan
Tidak dapat ditaksir
-
-

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa penghasilan dari Bapak Abdul Sofyan dalam kurun waktu per bulan tidak dapat ditaksir. Hal ini disebabkan karena Bapak Abdul Sofyan pada bulan-bulan tertentu kadang tidak melaut. Oleh sebab itu penghasilan dalam kurun waktu per bulan Bapak Abdul Sofyan tidak dapat ditaksir.

·         Per Musim
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari Nelayan, maka dapat diketahui penerimaan Nelayan dalam per musim. Penerimaan nelayan dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 10. Penerimaan Nelayan dalam Per Musim
No.
Pekerjaan
Pokok
Sampingan
Jenis Pekerjaan
Jumlah (Rp)
Jenis Pekerjaan
Jumlah (Rp)
1.
Nelayan
Rp.18.000.000,-
-
-
Jumlah
Rp.18.000.000,-
Jumlah
-

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Bapak Abdul Sofyan mempunyai penghasilan per musim yaitu Rp.18.000.000,-. Hal ini disebabkan karena jumlah hasil tangkapan ikan yang akan dijual kepada penjual ikan dihitung dalam jangkau permusim sangat berlimpah. Hal ini sesuai dengan pendapat Munira (2006) bahwa peningkatan pendapatan masyarakat merupakan salah satu unsur pokok dalam pembangunan ekonomi. Persoalan pembangunan ekonomi di Negara-negara yang sedang berkembang adalah berhubungan langsung dengan rendahnya tingkat hidup masyarakat yang diukur dalam pendapatan masyarakat dapat ditingkatkan.
2.   Pengeluaran Nelayan
·        Per Hari
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari Nelayan, maka dapat diketahui pengeluaran Nelayan dalam per hari. Pengeluaran nelayan dapat dilihat pada tabel berikut ini :



Tabel 11. Pengeluaran Nelayan dalam Per Hari
No.
Biaya
Tetap
Variable
Jenis Biaya
Jumlah (Rp)
Jenis biaya
Jumlah (Rp)
1.
-
-
BBM 100 L
Rp.300.000,-
2.
-
-
Rokok
Rp.15.000,-
3.
-
-
Makan
Rp.25.000,-
Jumlah

Jumlah
Rp.340.000,-

Dari tabel di atas diketahui tidak terdapat biaya tetap karena pengeluaran biaya tetap tidak dikeluarkan perhari melainkan pada waktu-waktu tertentu saja misalnya pada bulan dan musim tertentu. Sedangkan biaya variable sebesar Rp.340.000,- dengan perincian yaitu BBM 100 L sebesar Rp.300.000,-,rokok sebesar Rp.15.000,-, makan sebesar Rp.25.000,-. Dalam pengertian biaya tetap adalah biaya yang penggunaannya tidak habis, sedangkan biaya variable adalah biaya yang penggunaannya habis dalam satu kali operasi. Dalam biaya tetap ada yang dinamakan dengan penyusutan alat. Hal ini sesuai dengan pendapat Habibi (2007) bahwa biaya tetap adalah biaya yang penggunaanya tidak habis dalam satu masa produksi dan tetap dikeluarkan walaupun tidak bereproduksi yaitu biaya penyusutan alat. Penyusutan alat terjadi karena pengaruh umur atau karena dipakai.
·        Per Bulan
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari Nelayan, maka dapat diketahui pengeluaran Nelayan dalam per bulan. Pengeluaran nelayan dapat dilihat pada tabel berikut ini :




Tabel 12. Pengeluaran Nelayan dalam Per Bulan
No.
Biaya
Tetap
Variabel
Jenis Biaya
Jumlah (Rp)
Jenis Biaya
Jumlah (Rp)
1.
Jaring
Rp.350.000,-
BBM 2.500 L
Rp.6.000.000,-
2.
Perahu
Rp.450.000,-
Rokok
Rp.350.000,-
3.
-
-
Makan
Rp.650.000,-
Jumlah
Rp.800.000,-
Jumlah
Rp.7.000.000,-

Dari tabel di atas diketahui bahwa biaya tetap dari Bapak Abdul Sofyan yaitu sebesar Rp.800.000,- dengan perincian jaring sebesar Rp.350.000,- dan perahu sebesar Rp.450.000,-. Sedangkan biaya variable sebesar Rp.7.000.000,- dengan perincian BBM 2.500 L sebesar Rp.6.000.000,-, Rokok sebesar Rp.350.000,-, dan makan sebesar Rp.650.000,-. Hal ini sesuai dengan pendapat Munirah (2006) bahwa rendahnya pendapatan nelayan ini tercermin dari hasil sensus perikanan laut tahun 1983 di mana rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan sebesar Rp.9.995.000,- per tahun. Bahkan hasil penelitian PPLH IPB tahun 1996 diketahui bahwa pendapatan rumah tangga nelayan di desa pesisir Lombok bagian Barat lebih rendah lagi yaitu RP 210.540 – Rp 643.510 per tahun.
·        Per Musim
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari Nelayan, maka dapat diketahui pengeluaran Nelayan dalam per musim. Pengeluaran nelayan dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 13. Pengeluaran Nelayan dalam Per Musim
No.
Biaya
Tetap
Variabel
Jenis Biaya
Jumlah (Rp)
Jenis Biaya
Jumlah (Rp)
1.
Jaring
Rp.2.400.000,-
BBM 4.000 L
Rp.8.000.000,-L000rjaanpeluaran Nelayan dalam per Musimt di tabel lu sebesar7 keranjang, dan udang dengan 3 kg.prasiannya di daerah pang
2.
Perahu
Rp.2.700.000,-
Rokok
Rp.500.000,-
3.
-
-
Makan
Rp.1.000.000,-
Jumlah
Rp.5.100.000,-
Jumlah
Rp.9.500.000,-

Dari tabel di atas diketahui bahwa biaya tetap dari Bapak Abdul Sofyan yaitu sebesar Rp.5.100.000,- dengan perincian jaring sebesar Rp.2.400.000,-dan perahu sebesar Rp.2.700.000,-. Sedangkan biaya variable sebesar Rp.9.500.000,- dengan perincian BBM 2.500 L sebesar Rp.8.000.000,-, rokok sebesar Rp.500.000,-, dan makan sebesar Rp.1.000.000,-. Hal ini sesuai dengan pendapat Munirah (2006) bahwa rendahnya pendapatan nelayan ini tercermin dari hasil sensus perikanan laut tahun 1983 di mana rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan sebesar Rp.9.995.000,- per tahun. Bahkan hasil penelitian PPLH IPB tahun 1996 diketahui bahwa pendapatan rumah tangga nelayan di desa pesisir Lombok bagian Barat lebih rendah lagi yaitu RP 210.540 – Rp 643.510 per tahun.
b.    Pedagang Pengumpul
1.    Penerimaan Pedagang Pengumpul
·         Per Hari
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari pedagang pengumpul, maka dapat diketahui penerimaan pedagang pengumpul dalam per hari. Penerimaan pedagang pengumpul dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 14. Penerimaan Pedagang Pengumpul dalam Per Hari
No.
Pekerjaan
Pokok
Sampingan
Jenis Pekerjaan
Jumlah (Rp)
Jenis Pekerjaan
Jumlah (Rp)
1.
Penjual ikan
Rp.120.000,-
-
-
Jumlah
Rp.120.000,-
Jumlah
-

Dari tabel di atas diketahui bahwa Bapak Dg. Ngemba yang pekerjaan pokoknya yaitu adalah sebagai penjual ikan dengan penghasilan yang diperoleh dalam per hari yaitu sebesar Rp.120.000,-. Hal ini sesuai dengan pendapat Munira (2006) bahwa peningkatan pendapatan masyarakat merupakan salah satu unsur pokok dalam pembangunan ekonomi. Persoalan pembangunan ekonomi di Negara-negara yang sedang berkembang adalah berhubungan langsung dengan rendahnya tingkat hidup masyarakat yang diukur dalam pendapatan masyarakat dapat ditingkatkan.
·         Per Bulan
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari pedagang pengumpul, maka dapat diketahui penerimaan pedagang pengumpul dalam per bulan. Penerimaan pedagang pengumpul dapat dilihat pada tabel berikut ini :
              Tabel 15. Penerimaan Pedagang Pengumpul dalam Per Bulan
No.
Pekerjaan
Pokok
Sampingan
Jenis Pekerjaan
Jumlah (Rp)
Jenis Pekerjaan
Jumlah (Rp)
1.
Penjual Ikan
Rp.7.200.000,-
-
-
Jumlah
Rp.7.200.000,-
Jumlah
-

Dari tabel di atas diketahui bahwa Bapak Dg. Ngemba dengan pekerjaan pokoknya yaitu sebagai penjual ikan memiliki penghasilan sebesar Rp.7.200.000,-. Hal ini sesuai dengan pendapat Munira (2006) bahwa peningkatan pendapatan masyarakat merupakan salah satu unsur pokok dalam pembangunan ekonomi. Persoalan pembangunan ekonomi di Negara-negara yang sedang berkembang adalah berhubungan langsung dengan rendahnya tingkat hidup masyarakat yang diukur dalam pendapatan masyarakat dapat ditingkatkan.
·         Per Musim
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari pedagang pengumpul, maka dapat diketahui penerimaan pedagang pengumpul dalam per musim. Penerimaan pedagang pengumpul dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 16. Penerimaan Pedagang Pengumpul dalam Per Musim
No.
Pekerjaan
Pokok
Sampingan
Jenis Pekerjaan
Jumlah (Rp)
Jenis Pekerjaan
Jumlah (Rp)
1.
Penjual Ikan
Rp.43.200.000,-
-
-
Jumlah
Rp.43.200.000,-
Jumlah
-

Dari tabel di atas diketahui bahwa penghasilan dari Bapak Dg. Ngemba yaitu sebesar Rp.43.200.000,- dengan perincian. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahuri (2001) bahwa proses pembangunan perikanan selama ini telah berhasil meningkatkan produksi, ekspor dan penerimaan devisa serta menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja. Namun demikian, secar parsial belum berhasil dalam memeratakan peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup serta kesempatan berusaha di antara pelaku ekonomi perikanan khusnya nelayan.
2.    Pengeluaran Pedagang Pengumpul
·         Per Hari
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari pedagang pengumpul, maka dapat diketahui pengeluaran pedagang pengumpul dalam per hari. Pengeluaran pedagang pengumpul dapat dilihat pada tabel berikut ini :





Tabel 17. Pengeluaran Pedagang Pengumpul dalam Per Hari
No.
Biaya
Tetap
Variabel
Jenis Biaya
Jumlah (Rp)
Jenis Biaya
Jumlah (Rp)
1.
Parkir
Rp.1.000,-
Es balok
Rp.10.000,-
2.
Plastik
Rp.3.000,-
Rokok
Rp.5.000,-
3.
Pajak
Rp.5.000,-
Makan
Rp.3.000,-
4.
Keranjang
Rp.15.000,-
Bensin
Rp.13.500,-
5.
Gabus
Rp.5.000,-
Oli
Rp.23.000,-
Jumlah
Rp.29.000,-
Jumlah
Rp.54.500,-

Dari tabel di atas diketahui bahwa biaya tetap per hari dari Bapak Dg. Ngemba yaitu sebesar Rp.29.000,- dengan perincian parkir motor Rp.1.000,-, plastik sebesar Rp.3.000,-, pajak sebesar Rp.5.000,-, keranjang sebesar Rp.15.000,- serta gabus sebesar Rp.5.000,-. Sedangkan biaya variabel sebesar 54.500,- meliputi es balok sebesar Rp.10.000,-, rokok sebesar Rp.5.000,-,makan sebesar Rp.3.000,-, bensin sebesar Rp.13.500,-, dan oli sebesar Rp.23.000,-. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2006) bahwa pengeluaran masyarakat pesisir tergolong besar dan tidak sebanding dengan penghasilan mereka peroleh.
·         Per Bulan
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari pedagang pengumpul, maka dapat diketahui pengeluaran pedagang pengumpul dalam per bulan. Pengeluaran pedagang pengumpul dapat dilihat pada tabel berikut ini :





Tabel 18. Pengeluaran Pedagang Pengumpul dalam Per Bulan
No.
Biaya
Tetap
Variabel
Jenis Biaya
Jumlah (Rp)
Jenis Biaya
Jumlah (Rp)
1.
Parkir
Rp.30.000,-
Es balok
Rp.300.000,-
2.
Plastik
Rp.270.000,-
Rokok
Rp.60.000,-
3.
Pajak
Rp.150.000,-
Makan
Rp.90.000,-
4.
Keranjang
Rp.450.000,-
Bensin
Rp.405.000,-
5.
Gabus
Rp.150.000,-
Oli
Rp.690.000,-
Jumlah
Rp.1.050.000,-
Jumlah
Rp.1.545.000,-

Dari tabel di atas diketahui bahwa biaya tetap per bulan dari Bapak Dg. Ngemba yaitu sebesar Rp.1.050.000,- dengan perincian parkir motor Rp.30.000,-plastik sebesar Rp.270.000,-, pajak sebesar Rp.150.000,-keranjang sebesar Rp.450.000,-serta gabus sebesar Rp.150.000,-. Sedangkan biaya variabel sebesar Rp.1.545.000,-, meliputi es balok sebesar Rp.300.000,-, rokok sebesar Rp.60.000,-, makan sebesar Rp.90.000,-, bensin sebesar Rp.405.000,-, dan oli sebesar Rp.690.000,-. Hal ini sesuai dengan pendapat Munira (2006) bahwa rendahnya pendapatan nelayan ini tercemin dari hasil sensus perikanan laut tahun 1983 dimana rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan sebesar Rp. 9.995.000,- per tahun. Bahkan hasil penelitian PPLH IPB tahun 1996 diketahui bahwa pendapatan rumah tangga nelayan di desa pesisir Lombok bagian barat lebih rendah lagi yaitu Rp. 210.540,- sampai Rp. 643.510,- per tahun.
·         Per Musim
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari pedagang pengumpul, maka dapat diketahui pengeluaran pedagang pengumpul dalam per musim. Pengeluaran pedagang pengumpul dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 19. Pengeluaran Pedagang Pengumpul dalam Per Musim
No.
Biaya
Tetap
Variabel
Jenis Biaya
Jumlah (Rp)
Jenis Biaya
Jumlah (Rp)
1.
Parkir
Rp.360.000,-
Es balok
Rp.3.600.000,-
2.
Plastik
Rp.1.080.000,-
Rokok
Rp.1.800.000,-
3.
Pajak
Rp.1.800.000,-
Makan
Rp.1.080.000,-
4.
Keranjang
Rp.5.400.000,-
Bensin
Rp.4.860.000,-
5.
Gabus
Rp.1.800.000,-
Oli
Rp.8.280.000
Jumlah
Rp.10.440.000,-
Jumlah
Rp.19.620.000,-

Dari tabel di atas diketahui bahwa biaya tetap per musim dari Bapak Dg. Ngemba yaitu sebesar Rp.10.440.000,- dengan perincian parkir motor Rp.360.000,-plastik sebesar Rp.1.080.000,-, pajak sebesar Rp.1.800.000,-keranjang sebesar Rp.5.400.000,-, serta gabus sebesar Rp.1.800.000,-. Sedangkan biaya variabel sebesar Rp.19.620.000,- meliputi es balok sebesar Rp.3.600.000,-, rokok sebesar Rp.1.800.000,-, makan sebesar Rp.1.080.000,-, bensin sebesar Rp.4.860.000,-, dan oli sebesar Rp.8.280.000,-. Hal ini sesuai dengan pendapat Nurfaizah (2005) bahwa masyarakat pesisir yang menempati pulau-pulau kecil, pada umumnya sangat miskin karena keterbatasan modal dan teknologi. Rendahnya posisi ekonomi nelayan tidak menentunya hasil tangkapan karena faktor musim, sulitnya mendapatkan modal kerja sehingga mereka terperangkap dalam lingkaran kemiskinan yang menyulitkan mereka keluar dari keterbelakangan.
2.   Keuntungan Masyarakat Pesisir
A.   Nelayan
·      Keuntungan per hari
     Π       =          TR - TC
               =          Rp. 500.000 – Rp. 340.000
               =          Rp. 160.000
·      Keuntungan per musim
                          Π       =          TR - TC
                                                =          Rp. 18.000.000 – Rp. 14.600.000
                                    =          Rp. 3.400.000 
B.   Pedagang Pengumpul
·      Keuntungan per hari
  Π       =          TR - TC
                =          Rp.120.000 – Rp. 83.000
            =          Rp. 37.000
·      Keuntungan per bulan
  Π       =          TR - TC
                                    =          Rp. 7.200.000 – Rp. 2.595.000
                                    =          Rp. 4.605.000
·      Keuntungan per musim
  Π       =          TR - TC
             ­=          Rp. 43.200.000 – Rp. 30.060.000
          =          Rp. 13.140.000              
Dari hasil perhitungan di atas dapat diperoleh bahwa keuntungan nelayan per hari dan per musim masing-masing sebesar Rp. Rp. 160.000 dan Rp. 3.400.000. sedangkan untuk pedagang pengumpul diperoleh bahwa keuntungan per hari, per bulan dan per musim masing-masing sebesar Rp. 37.000, Rp. 4.605.000 dan Rp.13.140.000. Menurut Habibi (2007) menyatakan bahwa total biaya atau total cost adalah biaya tetap ditambah biaya variabel. Sedangkan untuk total penerimaan pada usaha penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap diperoleh dari hasil penjualan ikan dalam 1 tahun. Di mana pendapatan usaha meupakan hasil pendapatan dikurangi semua biaya yang dikeluarkan selama proses produksi berlangsung.
F.  Lembaga Ekonomi Pesisir
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden nelayan oleh Bapak Abdul Sofyan bahwa para nelayan di Paotere Kecamatan Gusung  kurang mengetahui adanya Undang-Undang Perikanan dan Lembaga yang dapat membantu usaha masyarakat disana. Hal ini dikarenakan kurangnya mengetahui informasi dari pemerintah atau lembaga yang berhubungan dengan hal tersebut. Lembaga ekonomi masyarakat pesisir kurang terlibat langsung dalam memberikan informasi kemasyarakatan juga dikarenakan kurangnya minat masyarakat untuk mengetahui undang-undang perikanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahuri, dkk (2001) bahwa untuk mempertahankan daya dukung dan kelestarian fungsi lingkungan maka kebijakan yang ditempuh yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat akan besarnya manfaat pengelolaan hasil-hasil sumber daya laut agar bangsa Indonesia dapat hidup dari laut, dan menyadari hak dan kewajiban penggunaan kekayaan di wilayah laut nasional yang juga berfungsi sebagai wahana pemersatu.
Tabel 20. Sumber Pembiayaan Nelayan
No.
Sumber
Pembiayaan
Modal (Rp.)
Bunga (%)
Masa Pinjaman
1
KUD
5 Juta
5 %
Tergantung
2
Rentenir
3 Juta
25 %
Sampai lunas

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sumber pembiayaan nelayan berasal dari KUD dan rentenir masing-masing sebesar 5 juta dan 3 juta rupiah. Di mana sumber pembiayaan tersebut tidak memberatkan nelayan karena bunga yang dikenakan rendah. Menurut Dahuri (2001) bahwa untuk meningkatkan harkat dan taraf hidup nelayan maka perlu adanya kebijakan pemerintah untuk penyempurnaan pola hubungan keja antara KUD dan nelayan dengan pengusaha dalam rangka meningkatkan keandalan sistem distribusi. Adanya kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan masyarakat desa pantai sangat diperlukan melalui pemantapan organisasi dan pemerintah desa pantai, pengembangan prasarana sosial untuk menggerakkan kehidupan ekonomi, dan pencairan alternatif kesempatan kerja di musim paceklik (Dahuri, 2001).
Dari hasil wawancara dengan responden Bapak Abdul Sofyan bahwa dia melakukan usaha penangkapan ikan dengan cara berkelompok dengan jumlah orang yang terlibat sebanyak 15 orang. Posisi Bapak Abdul Sofyan itu sendiri pada kelompok tersebut yaitu sebagai sawi atau ABK. Dalam sistem bagi hasilnya, misalnya mereka memperoleh hasil sebesar Rp 10 juta maka 1 juta mereka keluarkan untuk perbaikan kapal, jarring, dan sebagainya. Kemudian selebihnya mereka bagi rata, maksudnya kapten kapal setengah dari hasil dan setengahnya lagi untuk kelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat Ilmawati (2004) bahwa factor pendorong atau motif untuk menjadi sawi adalah hasrat untuk mempertahankan diri dan mengembangkan hidup. Hal ini bersifat social dan di dalamnya terdapat segi-segi yang bersifat ekonomi yang ingin dicapai.
G.   Dampak Usaha Perikanan terhadap Lingkungan Sosial Ekonomi Masyarakat
Berdasarkan hasil wawancara dengan dua responden, maka dapat diketahui bahwa ada dampak yang ditimbulkan oleh usaha perikanan ini.
Dalam melakukan usaha perikanan tidak ada peraturan yang berlaku. Dari informasi yang diperoleh dari kedua responden, mereka pernah mendengar atau mendapatkan UU Perikanan seperti larangan menggunakan bom dan racun ikan. Namun belum ada aturan dan sanksi yang tegas.
Dampak positif dilihat dari segi ekonominya yaitu para nelayan dan pedagang pengumpul mempunyai pekerjaan yang dijadikan sebagai sumber mata pencaharian mereka yang berguna untuk menghidupi keluarga mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2006) bahwa usaha perikanan di Indonesia mempunyai potensi yang cukup besar, baik areal budidaya maupun areal penangkapan ikan.
Sedangkan dampak negatif meliputi timbulnya pencemaran di laut yang mengakibatkan kerusakan ekosistem laut. Kerusakan ekosistem tersebut disebabkan oleh banyaknya buangan limbah organik dan limbah kapal. Kerusakan ekosistem laut biasanya hanya disebabkan oleh adanya limbah-limbah pabrik yang masuk ke laut (Nikijuluw, 2002).       
Untuk menghadapi permasalahan yang telah muncul, usaha perikanan tidak hanya diarahkan untuk keuntungan ekonomis, tetapi harus berjalan bersama-sama dengan keseimbangan ekologis dan kepentingan sosial. Oleh karena itu, semua sektor dan golongan sosial terkait harus dilibatkan. Hal ini penting dilakukan untuk mencegah kerusakan ekosistem dan permasalahan sosial. (Anonim, 2006).







KESIMPULAN DAN SARAN
A.   Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil wawancara dengan kedua responden, maka dapat disimpulkan bahwa keadaan produksi sumberdaya perikanan masih banyak. Dan peranan kelembagaan ekonomi sumberdaya masyarakat pesisir sangat besar karena masyarakat memperoleh modal dari KUD. Selain itu, pendapatan masyarakat cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

B. Saran
Dengan melihat hasil wawancara yang telah dilakukan dengan anggota masyarakat setempat, kiranya pemerintah mau memberikan perhatian yang lebih besar lagi terhadap PPI Paotere.
Untuk praktek lapang yang akan datang sekiranya dosen yang bersangkutan ikut membimbing praktikan dalam melakukan praktek lapang dan sekiranya pula asisten dapat menuntun praktikan dalam melakukan observasi di lapangan.





  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BARANG LOMPO

Mari kita sedikit membahas tentang pulau yang sangat terkenal dimahasiswa perikanan yang ada dimakassar       Pulau Barrang Lompo  terma...