I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia yang merupakan salah satu Negara agraris dan
maritim dengan potensi wilayah yang ada yaitu panjang garis pantai kurang lebih
81.000 km2 menempatkan sektor pertanian dan perikanan sebagai titik
berat perekonomian. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan meski selama lima
puluh tahun terakhir telah terjadi perkembangan yang cukup pesat di bidang ilmu
ekonomi dan biologi yang dapat di aplikasikan untuk menjawab permasalahan
pengelolaan sumberdaya perikanan, pengelolaan dan pembangunan, sumberdaya
perikanan masih dirasakan relative kompleksdi banding land based resource (Dahuri, 2001).
Mengingat pertumbuhan penduduk
Indonesia yang relatif cepat yaitu 2,34% menurut hasil sensus kependudukan 1981,
maka kita harus selalu mencari upaya untuk meningkatkan produksi komoditi yang
telah ada dan di lain pihak mencari sumber-sumber produksi baru yang dapat
menambah penghasilan negara dan juga memperbesar lapangan kerja. Meskipun
kegiatan-kegiatan yang ada di darat tetap akan mendominir perekonomian kita
untuk waktu yang masih lama, namun pendayagunaan sumberdaya laut merupakan
tantangan dan kemungkinan yang sangat besar untuk perkembangan perekonomian
Indonesia di masa datang. Hal ini antara lain disebabkan bahwa pendayagunaan
sumber daya alam laut dan wilayah pesisir akan mempunyai peranan ganda. Disatu
pihak akan meningkatkan lapangan kerja, tetapi di lain pihak juga akan meningkatkan
pendapatan negara.
Permasalahan dalam pembangunan kawasan sumberdaya perikanan dari segi wilayahnya, banyak ditemui berbagai hal yang
kontradiktif, antagonistic dalam hubungannya antar potensi sumberdaya bagi
kawasan pesisir dan kelautan. Interaksi antar masyarakat dengan komponen
lingkungan hidup lain dalam kaitanya dengan pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya
alam mempunyai pengaruh yang nyata. Dampak atau akibat yang ditimbulkan oleh
pola interaksi yang terbentuk tersebut menghasilkan kondisi lingkungan hidup.
Hal ini selanjutnya akan membantu dalam merumuskan permasalahan lingkungan yang
dihadapi daerah pesisir (Dahuri, 2001).
Produksi ikan sampai saat ini
mencapai 75% dari penangkapan, sedangkan sisanya berasal dari kegiatan
budidaya. Lebih dari 90% penangkapan ikan di perairan darat, seperti sungai dan
danau, berada di Kalimantan dan Sulawesi,sedangkan jenis ikan yang
dibudidayakan di tambak air payau dan air tawar banyak di lakukan di Pulau
Jawa. Tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan terbesar di Indonesia barada di
Selat Malaka. Hal ini memilki implikasi ekonomi yang cukup penting dan memerlukan
usaha manajemen perikanan yang tepat (Agus, 1997).
Ilmu ekonomi pada umumnya dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari
tentang bagaimana tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun sebagai
masyarakat, berusaha memenuhi kebutuhan dari berbagai alat pemuas kebutuhan
atau sumberdaya yang terbatas adanya oleh karena itu, manusia atau masyarakat
harus memilih diantara kebutuhan atau sumberdaya itu dan juga memilih diantara
kebutuhan yang harus dipenuhinya.
Dewasa ini sumberdaya alam dan lingkungan telah menjadi barang langka akibat tingkat ekstraksi yang berlebihan over-exploitation dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan. Kendati ia secara ekonomi dapat meningkatkan nilai jual, namun di sisi lain juga bisa menimbulkan ancaman kerugian ekologi yang jauh lebih besar, seperti hilangnya lahan,
langkanya air bersih, banjir, longsor, dan sebagainya (Anonim,
2007).
Peningkatan
kontribusi perikanan harus diupayakan secara berhati-hati dalam rangka
pembangunan nasional, agar tidak menimbulkan dampak negative dimasa yang akan
datang. Disinilah peranan pengelolaan potensi perikanan menjadi sangat
strategis.
Berdasarkan hal tersebut diatas dapat memberikan pandangan tentang
perlunya melaksanakan praktek lapang Ekonomi sumberdaya Perikanan.
B. Tujuan Dan Kegunaan
Tujuan
dilaksanakannya praktek lapang Ekonomi Sumberdaya Perikanan adalah untuk
mengetahui kondisi penggunaan sumberdaya perikanan, keadaan produksi sumberdaya perikanan, peranan
kelembagaan ekonomi sumberdaya masyarakat pesisir, pengelolaan sumberdaya
perikanan, dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Kegunaan
dilaksanakannya praktek lapang ini adalah sebagai bahan perbandingan antara
teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan yang diperoleh dibangku kuliah dengan
realitas yang terjadi di lapangan.
II . TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi secara konvensional sering didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari bagaimana manusia mengalokasikan sumberdaya yang langka. Dengan
demikian, ilmu ekonmi sumberdaya alam dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari pengalokasian sumberdaya alam seperti air, lahan, ikan, hutan.
Secara ekplisit ilmu ini mencari jawaban seberapa besar sumberdaya harus
diekstraksi sehingga menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat
(Fauzi, 1997).
B. Pengertian Sumberdaya
Sumberdaya adalah segala sesuatu yang dapat
dimanfaatkan, dapat berupa barang maupun barang konsumsi. Yang dimaksud dengan
sumberdaya dalam proses produksi tidak hanya meliputi tanah, mineral dan bahan
bakar, tetapi juga tenaga kerja, kapital maupun valuta asing. Pada umumnya
prinsip-prinsip dalam ekonomi sumberdaya alam tidak terlalu khusus dan masih
akan menggunakan prinsip-prinsip
analisis pada umumnya.
Barang-barang sumberdaya alam tidaklah bebas adanya sehingga untuk
memperolehnya memerlukan pengorbanan. Dengan kata lain barang-barang langka
adanya dan memiliki barang alternatif. Penggunaan alternatif itu dapat
merupakan penggunaan sekarang dan penggunaan akan datang dengan kata lain
dimensi pilihan itu meliputi pilihan saat ini dan saat mendatang (Suparmoko,
1997).
Potensi sumberdaya
kelautan dapat digolongkan dalam 4 kategori yakni 1) sumberdaya alam yang dapat
pulih (renewable resources), 2) sumberdaya alam yang tidak dapat pulih (unrenewable
resources), 3) sumber-sumber energi kelautan, dan 4) jasa-jasa lingkungan
kelautan (environmental services).
Sumberdaya alam yang
dapat pulih meliputi sumberdaya ikan (berbagai jenis ikan, kerang-kerangan,
udang, kepiting, ubur-ubur, dan biota perairan laut lainnya), hutan mangrove,
padang lamun & rumput laut, dan terumbu karang. Potensi lestari ikan laut
Indonesia – yang berarti jumlah ikan yang dapat diproduksi dari laut setiap
tahun secara kontinu tanpa menganggu eksistensi dan keberlanjutan sumberdaya
tersebut -- diperkirakan mencapai 6,4 juta ton per tahun dengan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan 5 juta ton per tahun. Seluruh potensi perikanan
tangkap diperkirakan memiliki nilai ekonomi US$ 15,1 miliar (Miranty, 2006).
Dari sumberdaya yang
tidak dapat pulih (unrenewals resources) potensi Indonesia juga luar
biasa besarnya, antara lain minyak bumi dan gas, bauksit, timah, bijih besi,
dan bahan tambang dan mineral lainnya. Dari 60 cekungan minyak yang ada di
Indonesia, sekitar 70 persen (40 cekungan) terdapat di laut, yang berpotensi
menghasilkan 106,2 miliar barel setara minyak. Dari sisi sumberdaya energi laut,
yang berpotensi dikembangkan adalah Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC),
energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan angin. Potensi kelautan yang
berkaitan dengan jasa-jasa lingkungan adalah lokasi-lokasi indah untuk wisata
bahari, jasa transportasi laut, sumber plasma nutfah (genetic resources)
(Miranty, 2006).
Ikan adalah salah satu
bentuk sumberdaya alam yang bersifat renewable
atau mempunyai sifat dapat pulih/dapat memperbaharui diri. Disamping sifat renewable, menurut Widodo dan Nurhakim
(2002) dalam Suyasa (2003),
sumberdaya ikan pada umumnya mempunyai sifat “open access” dan “common
property” yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya
bersifat umum. Sifat sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi,
antara lain :
1)
Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan
(over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employment).
2)
Perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh Negara (state
property rights), oleh masyarakat (community property rights) atau oleh
swasta/perorangan (private property rights).
Dengan
sifat-sifat sumberdaya seperti diatas, menjadikan sumberdaya ikan bersifat
unik, dan setiap orang mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut
dalam batas-batas kewenangan hukum suatu Negara (Suyasa, 2003).
Sumberdaya alam mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di suatu
Negara (khususnya Negara sedang berkembang), dimana semakin tinggi pertumbuhan
ekonominya, akan mengakibatkan persediaan sumberdaya alam yang tersedia akan
semakin berkurang. Hal ini karena
pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan selalu menuntut adanya barang sumberdaya
dalam jumlah yang tinggi pula, dan barang sumberdaya ini diambil dari persediaan
sumberdaya alam yang ada. Dengan demikian, terdapat hubungan yang “positif”
antara jumlah barang sumberdaya dengan pertumbuhan ekonomi, disamping juga
hubungan yang “negative” antara persediaan sumberdaya alam dengan pertumbuhan
ekonomi (Suyasa, 2003).
Pengertian deplesi disini
adalah suatu cara pengambilan sumberdaya alam secara besar-besaran, yang
biasanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan mentah. Dalam kaitannya
dengan sumberdaya perikanan yang sifatnya dapat diperbaharui, tindakan deplesi
walaupun dapat diimbangi dengan kegiatan konservasi akan tetap melekat
dampaknya terhadap lingkungan dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
memulihkannya.
Sumberdaya yang bersifat milik bersama memilki 3 (tiga)
sifat khusus yang dikemukakan menurut Nikijuluw (2002) dalam Suyasa (2003). Ketiga
sifat khusus tersebut adalah :
1) Ekskludabilitas
Sifat
ini berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke
sumberdaya. Upaya pengendalian dan
pengawasan ini menjadi sulit dan sangat mahal oleh karena sifat phisik sumberdaya ikan yang dapat
bergerak, disamping lautan yang cukup luas.
Dalam kaitan ini, orang akan dengan mudah memasuki area perairan untuk
memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada didalamnya, sementara disisi lain
otoritas menejemen sangat sulit untuk mengetahui serta memaksa mereka untuk
keluar.
2) Substraktabilitas
Substraktabilitas
adalah suatu situasi dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau
seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki oleh orang lain. Dalam kaitan ini,
meskipun para pengguna sumberdaya melakukan kerjasama dalam pengelolaan, akan
tetapi kegiatan seseorang di dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia akan
selalu berpengaruh secara negatif pada kemampuan orang lain didalam
memanfaatkan sumberdaya yang sama. Dengan demikian, sifat ini pada dasarnya
akan menimbulkan persaingan yang dapat mengarah pada munculnya konflik antara
rasionalitas individu dan kolektif.
3) Indivisibilitas
Sifat
ini pada hakekatnya menunjukkan fakta bahwa sumberdaya milik bersama adalah
sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun secara adminstratif
pembagian maupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas menejemen.
Uraian diatas memberikan peringatan kepada kita bahwa pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi, apabila dilakukan tidak secara berhati-hati akan dapat
mengguras persediaan sumberdaya alam yang ada. Kondisi ini pada gilirannya
nanti akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. Oleh karena itu,
pemanfaatan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan harus dilakukan secara
bijaksana, dengan selalu mempertimbangkan sisi positif dan negatifnya.
Masalah sumberdaya milik bersama pada
hakekatnya berkaitan erat dengan persoalan-persoalan eksploitasi atau
pemanfaatan yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh karena adanya pendapat
masyarakat yang mengatakan bahwa sumberdaya milik bersama adalah sumberdaya
milik setiap orang. Oleh karena itu, dapatkan sumberdaya tersebut selagi masih
baik dan mengapa kita harus menghematnya, sementara orang lain menghabiskannya.
Kondisi diatas
mengakibatkan sumberdaya milik bersama seperti halnya sumberdaya ikan adalah
memungkinkan bagi setiap orang atau perusahaan dapat dengan bebas masuk untuk
mengambil manfaat. Selanjutnya, dengan adanya orang atau perusaahan yang
berdesakan karena bebas masuk, maka akan terjadi interaksi yang menguntungkan
dan secara kuantitatif berupa biaya tambahan yang harus diderita oleh
msing-masing orang atau perusaahan, sebagai akibat keadaan yang berdesakan
tersebut. Dengan demikian, secara prinsip sumberdaya milik bersama yang
dicirikan dengan pengambilan secara bebas maupun akibat-akibat lain yang
ditimbulkan seperti biaya eksternalitas (disekonomis)
dan lain sebagainya, akan menimbulkan kecenderungan pengelolaan secara deplesi
Sumberdaya
ikan masih berperan penting sebagai sumber mata pencaharian, lapangan kerja,
dan protein ikani bagi beberapa negara. Diperkirakan peningkatan jumlah
penduduk dunia dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik akan
mendorong peningkatan permintaan produk ikan. Apalagi negara-negara di Asia
selain menjadi produsen ikan terbesar juga menjadi konsumen utama dari hasil
perikanan.
Di satu sisi, peran ekonomi dan sosial pemanfaatan
sumberdaya ikan nampak masih sangat besar besar, sehingga telah memberikan
ruang bagi pengembangan perikanan lebih luas khususnya perikanan laut yang
secara kuantitafi produksinya mencapai lebih dari 70% total produksi ikan di
Indonesia. Di sisi lain, kelangkaan dan kerusakan sumberdaya ikan dan
habitatnya semakin meluas, yang dikhawatirkan pada gilirannya berimbas pada
berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Menurut data FAO
diperkirakan lebih dari 60% stok ikan dunia telah diekploitasi pada tingkat penuh
sampai tingkat rusak (depleted), dan diantaranya tidak lebih dari 1%
yang pulih kembali. (Anonim, 2006).
Sumberdaya
perikanan juga tergolong sumberdaya yang dapat pulih tetapi dibatasi oleh factor
pembatas alami dan factor pembatas non alami. Faktor pembatas alami adalah
factor-faktor penghambat ketersedian ikan dari ekosistem itu sendiri, seperti
ketersedian makanan, predator, persaingan ruang dan sebagainya. Sedangkan
factor non alami adalah factor- factor penghambat ketersedian ikan yang
disebabkan oleh kegiatan eksploitasi dan pencemaran (Pasaribu dkk, 2005).
C. Permasalahan Perikanan Indonesia
Alat penangkapan ikan khususnya di perairan pesisir
pantai merupakan masalah yang kompleks dan penting untuk segera dicarikan
pemecahannya. Pemanfaatan sumberdaya ikan yang tidak terkendalikan di beberapa
wilayah perairan telah menyebabkan degradasi yang sangat tajam akan stok
sumberdaya ikan dan ekologi perairan. Banyak alat tangkap (baika dalam jenis
maupun jumlah) yang terkonsterasi di pantai, diyakini telah mendorong tingginya
tekanan penangkapan dan kompetisi antar nelayan. Disisi lainnya, nasib nelayan
sebagai pelaku utama dalam perikanan, belum juga terentaskan. Bertambahnya
nelayan yang tidak terkontrol, di beberapa wilayah perairan ditengarai telah
melampaui batas maksimum, sehingga keberadaannya perlu dievaluasi lebih lanjut.
Pengaturan
sumberdaya ikan yang didasarkan pada penghitungan jumlah stok ikan dan beberapa
metoda pengaturan penangkapan iakn sudah banyak dilakukan. Namun demikian,
usaha-usaha tersebut belum juga memperlihatkan kemajuan yang menggembirakan.
Bahkan, angka-angka potensi sumberdaya ikan yang dijadikan dasar pengelolaan
sumberdaya ikan sering dilakukan keberadaannya dan tidak jarang menjadi bahan
perdebatan berkaitan dengan angka-angka yang kurang sesuai dengan kondisi
sesungguhnya. Bertolak dari fakta-fakta tersebut di atas, maka sudah waktunya
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk segera membenahi model
pengelolaan perikanan khususnya perikanan skala kecil di pesisir pantai dengan menerapkan
Manajement of Fishing Capacity
seperti yang dihimbau FAO.
Besaran
kapasitas maksimum suatu perikanan meskipun tidak memberikan jawaban
kuantitatif, pendekatan fishing capacity
layak untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Di samping
karena metoda yang dikembangkan tidak memerlukan data yang sulit, metoda
penghitungan fishing capacity juga
sangat cocok untuk dikembangkan di negara-negara berkembang di mana sistem
pendataannya kurang begitu sempurna. Dibandingkan dengan metoda penghitungan
analitik konvensional yang relatif sulit dan memerlukan waktu yang relatif
panjang, pendekatan fishing capacity
memberikan alternatif pemecahan bagi pengelolaan sumberdaya ikan secara cepat
dan sederhana dengan tingkat keilmiahan yang biasa dipertanggungjawabkan
(Wiyono, 2005).
III.
METODOLOGI PRAKTEK
A.
Waktu
dan Tempat
Praktek lapang Ekonomi Sumberdaya Perikanan dilaksanakan
pada hari Sabtu, 10 Mei 2008, di Jalan Sabutung No.3 Paotere, Kelurahan Gusung,
Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar.
B. Metode Praktek
Metode pengambilan data yaitu :
Ø Obsevasi : Teknik penelitian dengan melihat
langsung dan kondisi daerah sekitar.
Ø Wawancara : Teknik penelitian dengan wawancara
langsung dengan masyarakat setempat dengan menggunakan kuisioner
Ø Studi
pustaka : Membandingkan data hasil yang
di dapat dari lapangan dengan data dari pustaka.
C.
Sumber
Data
Sumber data yang dikumpulkan dalam praktek lapang Ekonomi
Sumberdaya Perikanan, antara lain :
a. Data primer adalah data yang diperoleh
melalui wawancara langsung kepada beberapa responden dengan menggunakan
kuisioner serta observasi di lapangan.
b. Data sekunder diperoleh melalui studi
berbagai pustaka dan melalui laporan-laporan instansi pemerintah dan swasta
terkait.
D.
Analisis Data
Adapun
danalisis data yang digunakan pada praktek lapang Ekonomi Sumberdaya Perikanan,
yaitu :
Π =
TR – TC
Di
mana,
Ket :
Π = Keuntungan
TR = Total Revenue
TC = Total Cost
IV. HASIL DAN
PEMBAHASAN
A. Letak Geografis Lokasi Praktek
Koperasi
Insan Perikanan terletak di Jalan Sabutung No.3 Paotere Kelurahan Gusung,
Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar. Adapun daerah-daerah yang berbatasan
dengan Kelurahan Gusung, antara lain :
- Sebelah
Utara berbatasan Selat Makassar
- Sebelah
selatan berbatasan dengan Kelurahan Pattingalloang
- Sebelah
Barat berbatasan dengan Kelurahan Tamalabba (Kompleks TNI AU)
- Sebelah
Timur berbatasan dengan Kelurahan Cambayya.
Paotere merupakan tempat bertemunya sandang pangan warga
Kota Makassar, dan tempat bertemunya antara pembeli dan penjual hasil
perikanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2007) bahwa menurut data statistik
Pemkot Makassar, ditaksir sekitar 30 persen masyarakat Kota Makassar
adalah masyarakat nelayan yang berada di kawasan pesisir Makassar yang
membentang dari Barombong hingga Paotere dan ke-11 pulau ini. Di mana
wilayah pesisir merupakan spasial ke arah darat di mana pengaruh laut masih ada
terutama pengaruh pasang surut (batas ekosistem air payau) dank e arah laut di
mana pengaruh darat masih dominan (batas sedimentasi sungai).
B. Sarana dan Prasarana Lokasi Praktek
1. Pengadaan
dan Kondisi Sarana PPI Paotere
a.
Pengadaan
Sarana PPI
Pengadaan
sarana PPI Paotere Kota Makassar atas program bersama antara Dinas Perikanan
Provinsi Sulawesi Selatan dengan Direktorat Jenderal Perikanan melalui Proyek
Pengembangan dan Pembangunan Prasarana Perikanan Tahun Anggaran 1991/ 1992 yang
dananya bersumber dari bantuan Luar Negeri (ADB) sebesar RP. 981.222.000,- dan
APBN sebesar Rp. 55.910.000,-. Pembangunan Fisik dilaksanakan selama 11
(sebelas) bulan, mulai dari bulan Maret 1991 sampai dengan Januari 1992 dan
mulai difungsikan Nelayan pada bulan Maret 1992, dengan rincian sebagai berikut
:
Tabel 1. Jenis Sarana
PPI Paotere
No.
|
Jenis Sarana
|
Unit
|
1.
|
Sarana
dibengun melalui dana bantuan Luar Negeri (ADB).
|
16
Unit
|
2.
|
Bersumber
dari dana APBD ii Kota Makassar.
|
3
Unit
|
3.
|
Swadaya
nasyarakat melalaui Koperasi INsan Perikanan PPI Paotere Makassar.
|
1
Unit
|
Untuk
tahun anggaran 2004, merehabilitasi beberapa sarana yaitu dengan anggaran Rp.
348.059.000,- yaitu :
1. Renovasi
saluran air (Got) 150 M
2. Pemasangan
paping blok bahagian pelataran areal parker
3. Pemasangan
tegel pada bagian took koperasi, tempat penjualan es balok dan sebahagian
pelataran ikan
4. Pengecoran
tiang lampu penerangan dermaga sebanyak 2 buah
b. Pemanfaatan Fasilitas Sarana PPI Paotere
Kota Makassar
Bertitik
tolak dari pendayagunaan PPI yaitu kemampuan untuk menggerakkan unsur yang
terkait di dalam pemanfaatan fasilitas sarana PPI Paotere yang dapat memberikan
kemudahan dan keuntungan bagi usaha nelayan, maka oleh pihak pengelola PPI Paotere
telah bekerja sama dengan Koperasi Nelayan Insan Perikanan dengan kerukunan
Nelayan Beringin Andalan PPI Paotere sebagai mitra kerjasama dalam pengelollan
beberapa fasilitas yang tersedia dapat berfungsi sebagaimana mestinya, dan juga
dapat menunjang kelancaran pemasukan PAD (Pendapatan Asli Daerah), Pemberian
sebahagian fasilitas sarana PPI Paotere Kepada Organisasi Nelayan berdasarkan
Surat Departemen dalam Negeri No.523/ 2657/ PUOD, Tanggal 19 Juli 1998 dan
Surat Ederan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomer 412,32/
3722/ Sekda Tanggal 5 Desember 1983. Adapun fasilitas sarana PPI Paotere yang
dikelola Insan Perikanan di antaranya :
1.
Toko Nelayan
2.
Gudang Es balok dan Pengadaan Es balok
3.
Sarana BBM (Solar)
4.
Air Bersih dari PDAM
5.
Pemungutan Jasa Pelelangan
6.
Pemungutan Jasa Tambat Labuh
7.
Gedung pemeliharaan Ikan
8.
Cold Room
2. Kegiatan
Operasional PPI Paotere
a.
Organisasi
dan Personil PPI Paotere
Sebagai
Tindak Lanjut dari Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah TK I Sulawesi Selatan
No.427/ IV/ 1992 Tentang Penyerahan Pengelolaan PPI Paotere Kepada Pemerintah
Kota Makassar, maka oleh Walikota Makassar menerbitkan Surat Keputusan
No.820.3-52/ 92 Tanggal 27 Juli 1992, tentang petugas pengelola PPI Paotere.
Jumlah Petugas pengelola PPI Paotere sebanyak 20 orang terdiri dari :
a. Petugas Administrasi
b. Petugas Retribusi/ Jasa
c. Petugas Kebersihan
d. Petugas Pengamanan
Pengadaan
sarana PPI Paotere sangatlah bermanfaat dilaksanakan agar operasional sarana
PPI Paotere dapat terstruktur dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat
Anonim (2006) bahwa sarana kawasan nelayan adalah fasilitas penunjang kawasan
nelayan yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan
ekonomi, social dan budaya kehidupan dan penghidupan nelayan, misalnya tempat penjemuran
ikan, tempat pembuatan jaring, dan tempat penjualan ikan.
b.
Kegiatan
Usaha Nelayan
1.
Jumlah
Nelayan
Kegiatan
usaha nelayan di PPI Paotere Kota Makassar di bawah koordinasi langsung oleh
Koperasi Insan Perikanan PPI Paotere dan Kerukunan Nelayan Beringin Andalan PPI
Paotere, sehingga para nelayan di dalam peningkatan usahanya cukup berjalan
lancar, semua kebutuhan nelayan selalu siap kapan saja nelayan membutuhkannya.
Selama
tahun 2006 jumlah nelayan yang memadati PPI Paotere setiap harinya mencapai antara
875 sampai dengan 2.000 orang terdiri dari :
Tabel
2. Jenis Usaha dan Jumlah Pekerja PPI Paotere
No.
|
Jenis Usaha
|
Jumlah Nelayan/
Pekerja
|
1.
|
Nelayan
Bakul/ Pedagang
|
660
s/d 1.000 orang
|
2.
|
Nelayan
Penggarap
|
460
s/d 1.000 orang
|
3.
|
Pengusaha
Perikanan
|
30
s/d 60 orang
|
4.
|
Pengunjung
Biasa
|
100
s/d 250 orang
|
2.
Armada/
Kapal Perikanan
Jumlah
armada kapal perikanan yang bermosili di PPI Paotere sampai akhir tahun 2006
sebanyak 600 buah, dengan perincian sebagai berikut :
Tabel
3. Jumlah Armada Kapal Perikanan PPI Paotere
No.
|
Jenis Kapal
|
Jumlah Armada
|
1.
|
Kapal
motor 3 s/d 10 GT
|
250
buah
|
2.
|
Kapal
motor 1 s/d 2.5 GT
|
350
buah
|
Dari 600 buah, 250 buah diantaranya
merupakan penangkap ikan dan selebihnya merupakan pengangkut ikan.
Dari
jumlah yang kami sebutkan di atas, setiap harinya melakukan kegiatan pendaratan
di dermaga antara 20 s/d 200 buah dengan volume pendaratan setiap bulannya
mencapai 1.300 s/d 4.700 kali pendaratan dan pada umumnya kapal-kapal yang
mendaratkan hasil tangkap ikannya berasal dari Kabupaten Daerah Takalar,
Pangkep, Maros, Selayar, dan Pulau-Pulau sekitar Kota Makassar.
Hal
ini sesuai dengan pendapat Anonim (2003) bahwa Armada penangkapan ikan di
Indonesia yang beroperasi di ketiga wilayah perairan laut seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya (perairan pantai, nusantara dan ZEEI) menurut data tahun
1995, masing-masing : nelayan tradisional (perahu tanpa motor sebesar 229.337
dan perahu motor tempel sebesar 77.779 buah), nelayan semi tradisional (perahu
motor < 10 GT sebanyak 45.049), nelayan semi industri dan industri ( kapal
motor > 10 GT sebanyak 7.003 buah).
3.
Alat
Tangkap
Dalam
menunjang kegiatan produksi para nelayan menggunakan alat tangkap sebanyak 329
unit terdiri dari :
Tabel
4. Jenis Alat Tangkap
No.
|
Jenis Alat Tangkap
|
Unit
|
1.
|
Purse
seine/ Gae
|
10 Unit
|
2.
|
Pukat/
Gill net
|
5 Unit
|
3.
|
Payang
|
3 Unit
|
4.
|
Pancing
|
291 Unit
|
5.
|
Cantrang
|
20 Unit
|
6.
|
Lain-lain
|
-
|
Dari
jumlah alat tangkap yang diopersikan nelayan, yang paling dominan penggunaanya
dilihat dari jumlah hasil tangkapan ikan yang diperoleh selama 1 tahun
berjumlah (2006) yaitu Purse Seine, Gill Net, Pancing, dan Cantrang. Sebagai
gambaran dapat kami sajikan data perolehan hasil tangkapan yang didaratkan di
PPI Paotere untuk perjenis alat tangkap.
Dari
uraian di atas dapat dikatakan bahwa di kawasan Paotere dibatasi penggunaan
jenis alat tangkap. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiadnya, dkk (2005) bahwa
beberapa wilayah perairan laut yang sudah mengalami tangkap lebih, sementara
beberapa wilayah lainnya masih berada dalam kondisi tangkap kurang.
C. Keadaan Umum Responden
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden baik nelayan maupun Pedagang
Pengumpul dapat diketahui bahwa nama
masing-masing responden Abdul Sofyan, dan Dg. Ngemba yang
lebih jelasnya profil masing-masing responden dapat dilihat pada tabel 5
sebagai berikut :
Tabel 5. Keadaaan Umum Responden Paotere,
Kelurahan Gusung, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar.
No.
|
Nama Responden
|
Umur (tahun)
|
Pendidikan
|
Pekerjaan Pokok
|
Pekerjaan Sampingan
|
Pengalaman Usaha
|
1.
|
Abdul
Sofyan
|
60
tahun
|
SD
|
Nelayan,
Juragan Ikan
|
-
|
Jual
coto
|
2.
|
Dg.
Ngemba
|
45
tahun
|
SD
|
Menjual
ikan
|
-
|
-
|
Dari
wawancara di atas dapat dilihat bahwa Bapak Abdul Sofyan yang berumur 60 tahun
di mana pendidikan terakhirnya yaitu SD dengan pekerjaan pokok sebagai nelayan
dan juragan ikan, dan pengalaman usahanya menjual coto. Kemudian responden
kedua Bapak Dg. Ngemba yang berusia 45 tahun di mana pendidikan terakhirnya
yaitu SD dengan pekerjaan pokok sebagai nelayan dan penjual ikan.
Dengan
melihat tingkat pendidikan maka dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan
seseorang tidak menjamin bahwa yang berpendidkan rendah akan kalah dengan orang
yang berpendidikan lebih tinggi, seperti hasil wawancara responden Nelayan dan
Pedagang Pengumpul di Paotere Keluruhan Gusung, Kecamatan Ujung Tanah yakni
masing-masing yaitu Bapak Abdul Sofyan, dan Dg. Ngemba. Walaupun pendidikan
terakhir sama-sama hanya sampai SD, namun penghasilan dari Bapak Dg. Ngemba
lebih menentu yang hanya seorang Penjual ikan dibandingkan dengan Bapak Abdul
Sofyan yang sebagai seorang Nelayan. Hal ini sesuai dengan pendapat Miranti
(2006) bahwa Ditingkat produksi , industri Kelautan dan Perikanan Indonesia
belum didukung oleh Sumberdaya manusia yang ahli dan berpengalaman.
D. Produksi dan Produktivitas
a.
Nelayan
Tabel 6. Jenis Alat Tangkap,
Hasil Tangkapan, dan Harga Jual
No.
|
Jenis Alat Tangkap
|
Jenis Hasil
Tangkapan
|
Lama Operasi
|
Daerah Operasi
|
Waktu Musim Penangkapan
|
Nilai Jual (Ekor/
Kg)
|
Tempat Penjualan
|
1.
|
Jaring
|
Mairo,
Layang
|
1
malam
|
Pangkep
|
Bulan
Purnama Tidak turun
|
Rp.
20.000,- s/d Rp. 35.000,-
|
PPI
Paotere
|
2.
|
Pancing
|
Ikan
Tenggiri
|
1
hari
|
Pangkep
|
Bulan
Purnama Tidak turun
|
Rp.
35.000,- s/d Rp. 40.000,-
|
PPI
Paotere
|
Berdasarkan
tabel di atas dapat diketahui jenis alat tangkap dan jenis hasil tangkapan oleh Bapak Abdul Sofyan
menggunakan jenis alat tangkap jaring, dan pancing dengan hasil tangkapan yaitu
pada jenis alat tangkap jaring hasil tangkapannya yaitu mairo, dan layang. Sedangkan
pada alat tangkap pancing hasil tangkapannya yaitu ikan tenggiri.
Alat
tangkap jaring lama operasi selama 1 malam, sedangkan alat tangkap pancing lama
operasinya yaitu selama 1 hari. Dengan daerah pengoprasiannya di daerah
pangkep. Namun waktu musim penangkapannya, mereka tidak turun pada saat bulan
purnama. Nilai jual masing-masing ikan yakni ikan mairo sebesar Rp. 20.000,-
dan ikan layang sebesar Rp. 25.000,- s/d Rp. 30.000,-. Masing-masing ikan
tersebut di jual di TPI Paotere.
Dari
uraian di atas bahwa nilai jual ikan – ikan yang diperoleh oleh nelayan sangat
meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2004) bahwa kebutuhan
tersebut terlihat sangat besar sekali apabila dilihat dari potensi lestari
penangkapan ikan di perairan Indonesia yang diperkirakan mencapai 6,4 juta ton
per tahun di mana yang boleh dieksploitasi hanya sekitar 5,5 juta ton per
tahun. Sedangkan tingkat pemanfaatan saat ini masih sekitar 64 persen. Dengan
tingkat pemanfaatan tersebut, sektor perikanan tangkap ini memiliki potensi
yang besar untuk lebih dioptimalkan dalam rangka memenuhi konsumsi ikan dalam
negeri dan memenuhi target ekspor hasil perikanan tangkap. Sementara itu,
produksi ikan tangkap nasional pada tahun 2000 adalah sebesar 4,11 juta ton dan
mengalami kenaikan rata-rata 5,11 %, pada tahun 2003 produksi ikan tangkap
nasional adalah sebesar 4,73 juta ton.
b. Pedagang
Pengumpul
Tabel 7. Jenis Produk, Jumlah Produk, dan
Tempat Pengambilan
No.
|
Jenis Ikan
|
Jumlah (Keranjang/
Kg)
|
Tempat Pengambilan
|
Harga Jual
(Keranjang/ Kg)
|
Tempat Penjualan
|
1.
|
Ikan
Cakalang
|
100
kg
|
PPI
Paotere
|
Rp.
45.000,-
|
Pasar
Perumnas
|
2.
|
Ikan
Layang
|
150
kg
|
PPI
Paotere
|
Rp.75.000,-
|
Pasar
Perumnas
|
3.
|
Ikan
Mairo
|
200
kg
|
PPI
Paotere
|
Rp.35.000,-
|
Pasar
perumnas
|
4.
|
Ikan
Bandeng
|
7
keranjang
|
PPI
Paotere
|
Rp.15.000,-
|
Pasar
Perumnas
|
5.
|
Udang
|
3
kg
|
PPI
Paotere
|
Rp.50.000,-
|
Pasar
Perumnas
|
Berdasarkan
tabel di atas diketahui bahwa jenis ikan dan jumlah yang diambil yakni
masing-masing ikan cakalang dengan 100 kg, ikan layang dengan 150 kg, ikan
mairo dengan 200 kg, ikan bolu (bandeng) dengan 7 keranjang, dan udang dengan 3
kg. Adapun harga jualnya yakni antara lain ikan mairo sebesar Rp.35.000,-, ikan
cakalang sebesar Rp.45.000,-, ikan laying sebesar Rp.75.000,-, udang sebesar
Rp.50.000,-, dan ikan bolu sebesar Rp.15.000,-.
Dari uraian di atas bahwa harga jual ikan bervariasi. Hal
ini sesuai dengan pendapat Anonim (2003) bahwa harga ikan yang dilelang
ditentukan sepenuhnya oleh ponggawa darat atau bos. Jadi sebenarnya yang telah
disebutkan tadi sebagai keuntungan lebih tepat jika disebut jasa ongkos kirim
karena untuk membeli ia pun mendapat pinjaman dari ponggawa darat atau bos. Seorang
ponggawa darat di PPI Paotere mengatakan keuntungan penjualan ikan yang didapat
pabalolang maupun ponggawa tidak tentu, karena hasil mengumpulkan ikan
tergantung pada produktivitas nelayan yang masih bergantung pada musim dan
kondisi pasar.
Dengan melihat hasil produksi dan
produktifitas di desa Pajukukang maka hal tersebut sesuai dengan pendapat
Dahuri, dkk (2001) bahwa untuk meningkatkan harkat dan taraf hidup msyarakat
pesisir maka perlu adanya kebijakan pemerintah untuk mendorong usaha yang
dilakukan oleh masyarakat pesisir tersebut melalui penyediaan sarana dan
prasrana yang mendukung usaha perikanan serta dilakukan penyuluhan-penyuluhan
untuk memberikan pengetahuan masyarakat pesisir.
E. Pendapatan Masyarakat Pesisir
1.
Penerimaan dan Pengeluaran Masyarakat
Pesisir
a.
Nelayan
1.
Penerimaan Nelayan
·
Per
Hari
Berdasarkan
hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari Nelayan, maka dapat
diketahui penerimaan Nelayan dalam per hari. Penerimaan nelayan dapat dilihat
pada tabel berikut ini :
Tabel
8. Penerimaan Nelayan dalam Per Hari
No.
|
Pekerjaan
|
|||
Pokok
|
Sampingan
|
|||
Jenis Pekerjaan
|
Jumlah (Rp)
|
Jenis Pekerjaan
|
Jumlah (Rp)
|
|
1.
|
Nelayan
|
Rp.500.000,-
|
-
|
-
|
Jumlah
|
Rp.500.000,-
|
Jumlah
|
-
|
Dari
tabel di atas dapat diketahui bahwa Bapak Abdul Sofyan yang pekerjaan pokoknya
sebagai seorang nelayan penghasilannya per hari yaitu Rp.500.000,-. Hal ini
sesuai dengan pendapat Munira (2006) bahwa peningkatan pendapatan masyarakat
merupakan salah satu unsur pokok dalam pembangunan ekonomi. Persoalan
pembangunan ekonomi di Negara-negara yang sedang berkembang adalah berhubungan
langsung dengan rendahnya tingkat hidup masyarakat yang diukur dalam pendapatan
masyarakat dapat ditingkatkan.
·
Per
Bulan
Berdasarkan
hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari Nelayan, maka dapat
diketahui penerimaan Nelayan dalam per bulan. Penerimaan nelayan dapat dilihat
pada tabel berikut ini :
Tabel
9. Penerimaan Nelayan dalam Per Bulan
No.
|
Pekerjaan
|
|||
Pokok
|
Sampingan
|
|||
Jenis Pekerjaan
|
Jumlah (Rp)
|
Jenis Pekerjaan
|
Jumlah (Rp)
|
|
1.
|
Nelayan
|
Tidak
dapat ditaksir
|
-
|
-
|
Berdasarkan
tabel di atas diketahui bahwa penghasilan dari Bapak Abdul Sofyan dalam kurun
waktu per bulan tidak dapat ditaksir. Hal ini disebabkan karena Bapak Abdul
Sofyan pada bulan-bulan tertentu kadang tidak melaut. Oleh sebab itu
penghasilan dalam kurun waktu per bulan Bapak Abdul Sofyan tidak dapat
ditaksir.
·
Per
Musim
Berdasarkan
hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari Nelayan, maka dapat
diketahui penerimaan Nelayan dalam per musim. Penerimaan nelayan dapat dilihat
pada tabel berikut ini :
Tabel 10. Penerimaan Nelayan
dalam Per Musim
No.
|
Pekerjaan
|
|||
Pokok
|
Sampingan
|
|||
Jenis Pekerjaan
|
Jumlah (Rp)
|
Jenis Pekerjaan
|
Jumlah (Rp)
|
|
1.
|
Nelayan
|
Rp.18.000.000,-
|
-
|
-
|
Jumlah
|
Rp.18.000.000,-
|
Jumlah
|
-
|
Dari
tabel di atas dapat diketahui bahwa Bapak Abdul Sofyan mempunyai penghasilan
per musim yaitu Rp.18.000.000,-. Hal ini disebabkan karena jumlah hasil
tangkapan ikan yang akan dijual kepada penjual ikan dihitung dalam jangkau
permusim sangat berlimpah. Hal ini sesuai dengan pendapat Munira (2006) bahwa
peningkatan pendapatan masyarakat merupakan salah satu unsur pokok dalam
pembangunan ekonomi. Persoalan pembangunan ekonomi di Negara-negara yang sedang
berkembang adalah berhubungan langsung dengan rendahnya tingkat hidup
masyarakat yang diukur dalam pendapatan masyarakat dapat ditingkatkan.
2.
Pengeluaran
Nelayan
·
Per
Hari
Berdasarkan
hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari Nelayan, maka dapat
diketahui pengeluaran Nelayan dalam per hari. Pengeluaran nelayan dapat dilihat
pada tabel berikut ini :
Tabel
11. Pengeluaran Nelayan dalam Per Hari
No.
|
Biaya
|
|||
Tetap
|
Variable
|
|||
Jenis Biaya
|
Jumlah (Rp)
|
Jenis biaya
|
Jumlah (Rp)
|
|
1.
|
-
|
-
|
BBM
100 L
|
Rp.300.000,-
|
2.
|
-
|
-
|
Rokok
|
Rp.15.000,-
|
3.
|
-
|
-
|
Makan
|
Rp.25.000,-
|
Jumlah
|
|
Jumlah
|
Rp.340.000,-
|
Dari
tabel di atas diketahui tidak terdapat biaya tetap karena pengeluaran biaya
tetap tidak dikeluarkan perhari melainkan pada waktu-waktu tertentu saja
misalnya pada bulan dan musim tertentu. Sedangkan biaya variable sebesar
Rp.340.000,- dengan perincian yaitu BBM 100 L sebesar Rp.300.000,-,rokok
sebesar Rp.15.000,-, makan sebesar Rp.25.000,-. Dalam pengertian biaya tetap
adalah biaya yang penggunaannya tidak habis, sedangkan biaya variable adalah
biaya yang penggunaannya habis dalam satu kali operasi. Dalam biaya tetap ada
yang dinamakan dengan penyusutan alat. Hal ini sesuai dengan pendapat Habibi
(2007) bahwa biaya tetap adalah biaya yang penggunaanya tidak habis dalam satu
masa produksi dan tetap dikeluarkan walaupun tidak bereproduksi yaitu biaya
penyusutan alat. Penyusutan alat terjadi karena pengaruh umur atau karena
dipakai.
·
Per
Bulan
Berdasarkan
hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari Nelayan, maka dapat
diketahui pengeluaran Nelayan dalam per bulan. Pengeluaran nelayan dapat
dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel
12. Pengeluaran Nelayan dalam Per Bulan
No.
|
Biaya
|
|||
Tetap
|
Variabel
|
|||
Jenis Biaya
|
Jumlah (Rp)
|
Jenis Biaya
|
Jumlah (Rp)
|
|
1.
|
Jaring
|
Rp.350.000,-
|
BBM
2.500 L
|
Rp.6.000.000,-
|
2.
|
Perahu
|
Rp.450.000,-
|
Rokok
|
Rp.350.000,-
|
3.
|
-
|
-
|
Makan
|
Rp.650.000,-
|
Jumlah
|
Rp.800.000,-
|
Jumlah
|
Rp.7.000.000,-
|
Dari
tabel di atas diketahui bahwa biaya tetap dari Bapak Abdul Sofyan yaitu sebesar
Rp.800.000,- dengan perincian jaring sebesar Rp.350.000,- dan perahu sebesar
Rp.450.000,-. Sedangkan biaya variable sebesar Rp.7.000.000,- dengan perincian
BBM 2.500 L sebesar Rp.6.000.000,-, Rokok sebesar Rp.350.000,-, dan makan
sebesar Rp.650.000,-. Hal ini sesuai dengan pendapat Munirah (2006) bahwa
rendahnya pendapatan nelayan ini tercermin dari hasil sensus perikanan laut
tahun 1983 di mana rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan sebesar
Rp.9.995.000,- per tahun. Bahkan hasil penelitian PPLH IPB tahun 1996 diketahui
bahwa pendapatan rumah tangga nelayan di desa pesisir Lombok bagian Barat lebih
rendah lagi yaitu RP 210.540 – Rp 643.510 per tahun.
·
Per
Musim
Berdasarkan
hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari Nelayan, maka dapat
diketahui pengeluaran Nelayan dalam per musim. Pengeluaran nelayan dapat
dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel
13. Pengeluaran Nelayan dalam Per Musim
No.
|
Biaya
|
|||
Tetap
|
Variabel
|
|||
Jenis Biaya
|
Jumlah (Rp)
|
Jenis Biaya
|
Jumlah (Rp)
|
|
1.
|
Jaring
|
Rp.2.400.000,-
|
BBM
4.000 L
|
Rp.8.000.000,-
|
2.
|
Perahu
|
Rp.2.700.000,-
|
Rokok
|
Rp.500.000,-
|
3.
|
-
|
-
|
Makan
|
Rp.1.000.000,-
|
Jumlah
|
Rp.5.100.000,-
|
Jumlah
|
Rp.9.500.000,-
|
Dari
tabel di atas diketahui bahwa biaya tetap dari Bapak Abdul Sofyan yaitu sebesar
Rp.5.100.000,- dengan perincian jaring sebesar Rp.2.400.000,-dan perahu sebesar
Rp.2.700.000,-. Sedangkan biaya variable sebesar Rp.9.500.000,- dengan
perincian BBM 2.500 L sebesar Rp.8.000.000,-, rokok sebesar Rp.500.000,-, dan
makan sebesar Rp.1.000.000,-. Hal ini sesuai dengan pendapat Munirah (2006)
bahwa rendahnya pendapatan nelayan ini tercermin dari hasil sensus perikanan
laut tahun 1983 di mana rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan sebesar
Rp.9.995.000,- per tahun. Bahkan hasil penelitian PPLH IPB tahun 1996 diketahui
bahwa pendapatan rumah tangga nelayan di desa pesisir Lombok bagian Barat lebih
rendah lagi yaitu RP 210.540 – Rp 643.510 per tahun.
b.
Pedagang
Pengumpul
1.
Penerimaan
Pedagang Pengumpul
·
Per
Hari
Berdasarkan
hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari pedagang pengumpul,
maka dapat diketahui penerimaan pedagang pengumpul dalam per hari. Penerimaan
pedagang pengumpul dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel
14. Penerimaan Pedagang Pengumpul dalam Per Hari
No.
|
Pekerjaan
|
|||
Pokok
|
Sampingan
|
|||
Jenis Pekerjaan
|
Jumlah (Rp)
|
Jenis Pekerjaan
|
Jumlah (Rp)
|
|
1.
|
Penjual
ikan
|
Rp.120.000,-
|
-
|
-
|
Jumlah
|
Rp.120.000,-
|
Jumlah
|
-
|
Dari
tabel di atas diketahui bahwa Bapak Dg. Ngemba yang pekerjaan pokoknya yaitu
adalah sebagai penjual ikan dengan penghasilan yang diperoleh dalam per hari
yaitu sebesar Rp.120.000,-. Hal ini sesuai dengan pendapat Munira (2006) bahwa
peningkatan pendapatan masyarakat merupakan salah satu unsur pokok dalam
pembangunan ekonomi. Persoalan pembangunan ekonomi di Negara-negara yang sedang
berkembang adalah berhubungan langsung dengan rendahnya tingkat hidup
masyarakat yang diukur dalam pendapatan masyarakat dapat ditingkatkan.
·
Per Bulan
Berdasarkan
hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari pedagang pengumpul,
maka dapat diketahui penerimaan pedagang pengumpul dalam per bulan. Penerimaan
pedagang pengumpul dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 15. Penerimaan Pedagang
Pengumpul dalam Per Bulan
No.
|
Pekerjaan
|
|||
Pokok
|
Sampingan
|
|||
Jenis Pekerjaan
|
Jumlah (Rp)
|
Jenis Pekerjaan
|
Jumlah (Rp)
|
|
1.
|
Penjual
Ikan
|
Rp.7.200.000,-
|
-
|
-
|
Jumlah
|
Rp.7.200.000,-
|
Jumlah
|
-
|
Dari
tabel di atas diketahui bahwa Bapak Dg. Ngemba dengan pekerjaan pokoknya yaitu
sebagai penjual ikan memiliki penghasilan sebesar Rp.7.200.000,-. Hal ini
sesuai dengan pendapat Munira (2006) bahwa peningkatan pendapatan masyarakat
merupakan salah satu unsur pokok dalam pembangunan ekonomi. Persoalan pembangunan
ekonomi di Negara-negara yang sedang berkembang adalah berhubungan langsung
dengan rendahnya tingkat hidup masyarakat yang diukur dalam pendapatan
masyarakat dapat ditingkatkan.
·
Per Musim
Berdasarkan
hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari pedagang pengumpul,
maka dapat diketahui penerimaan pedagang pengumpul dalam per musim. Penerimaan
pedagang pengumpul dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel
16. Penerimaan Pedagang Pengumpul dalam Per Musim
No.
|
Pekerjaan
|
|||
Pokok
|
Sampingan
|
|||
Jenis Pekerjaan
|
Jumlah (Rp)
|
Jenis Pekerjaan
|
Jumlah (Rp)
|
|
1.
|
Penjual
Ikan
|
Rp.43.200.000,-
|
-
|
-
|
Jumlah
|
Rp.43.200.000,-
|
Jumlah
|
-
|
Dari
tabel di atas diketahui bahwa penghasilan dari Bapak Dg. Ngemba yaitu sebesar
Rp.43.200.000,- dengan perincian. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahuri (2001)
bahwa proses pembangunan perikanan selama ini telah berhasil meningkatkan
produksi, ekspor dan penerimaan devisa serta menciptakan lapangan kerja dan
menyerap tenaga kerja. Namun demikian, secar parsial belum berhasil dalam
memeratakan peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup serta kesempatan berusaha
di antara pelaku ekonomi perikanan khusnya nelayan.
2.
Pengeluaran
Pedagang Pengumpul
·
Per
Hari
Berdasarkan
hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari pedagang pengumpul,
maka dapat diketahui pengeluaran pedagang pengumpul dalam per hari. Pengeluaran
pedagang pengumpul dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel
17. Pengeluaran Pedagang Pengumpul dalam Per Hari
No.
|
Biaya
|
|||
Tetap
|
Variabel
|
|||
Jenis Biaya
|
Jumlah (Rp)
|
Jenis Biaya
|
Jumlah (Rp)
|
|
1.
|
Parkir
|
Rp.1.000,-
|
Es
balok
|
Rp.10.000,-
|
2.
|
Plastik
|
Rp.3.000,-
|
Rokok
|
Rp.5.000,-
|
3.
|
Pajak
|
Rp.5.000,-
|
Makan
|
Rp.3.000,-
|
4.
|
Keranjang
|
Rp.15.000,-
|
Bensin
|
Rp.13.500,-
|
5.
|
Gabus
|
Rp.5.000,-
|
Oli
|
Rp.23.000,-
|
Jumlah
|
Rp.29.000,-
|
Jumlah
|
Rp.54.500,-
|
Dari tabel di atas
diketahui bahwa biaya tetap per hari dari Bapak Dg. Ngemba yaitu sebesar
Rp.29.000,- dengan perincian parkir motor Rp.1.000,-, plastik sebesar
Rp.3.000,-, pajak sebesar Rp.5.000,-, keranjang sebesar Rp.15.000,- serta gabus
sebesar Rp.5.000,-. Sedangkan biaya variabel sebesar 54.500,- meliputi es balok
sebesar Rp.10.000,-, rokok sebesar Rp.5.000,-,makan sebesar Rp.3.000,-, bensin
sebesar Rp.13.500,-, dan oli sebesar Rp.23.000,-. Hal ini sesuai dengan
pendapat Anonim (2006) bahwa pengeluaran masyarakat pesisir tergolong besar dan
tidak sebanding dengan penghasilan mereka peroleh.
·
Per
Bulan
Berdasarkan
hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari pedagang pengumpul,
maka dapat diketahui pengeluaran pedagang pengumpul dalam per bulan.
Pengeluaran pedagang pengumpul dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel
18. Pengeluaran Pedagang Pengumpul dalam Per Bulan
No.
|
Biaya
|
|||
Tetap
|
Variabel
|
|||
Jenis Biaya
|
Jumlah (Rp)
|
Jenis Biaya
|
Jumlah (Rp)
|
|
1.
|
Parkir
|
Rp.30.000,-
|
Es
balok
|
Rp.300.000,-
|
2.
|
Plastik
|
Rp.270.000,-
|
Rokok
|
Rp.60.000,-
|
3.
|
Pajak
|
Rp.150.000,-
|
Makan
|
Rp.90.000,-
|
4.
|
Keranjang
|
Rp.450.000,-
|
Bensin
|
Rp.405.000,-
|
5.
|
Gabus
|
Rp.150.000,-
|
Oli
|
Rp.690.000,-
|
Jumlah
|
Rp.1.050.000,-
|
Jumlah
|
Rp.1.545.000,-
|
Dari
tabel di atas diketahui bahwa biaya tetap per bulan dari Bapak Dg. Ngemba yaitu
sebesar Rp.1.050.000,- dengan perincian parkir motor Rp.30.000,-plastik sebesar
Rp.270.000,-, pajak sebesar Rp.150.000,-keranjang sebesar Rp.450.000,-serta
gabus sebesar Rp.150.000,-. Sedangkan biaya variabel sebesar Rp.1.545.000,-, meliputi
es balok sebesar Rp.300.000,-, rokok sebesar Rp.60.000,-, makan sebesar Rp.90.000,-,
bensin sebesar Rp.405.000,-, dan oli sebesar Rp.690.000,-. Hal ini sesuai
dengan pendapat Munira (2006) bahwa rendahnya pendapatan nelayan ini tercemin
dari hasil sensus perikanan laut tahun 1983 dimana rata-rata pendapatan rumah
tangga nelayan sebesar Rp. 9.995.000,- per tahun. Bahkan hasil penelitian PPLH
IPB tahun 1996 diketahui bahwa pendapatan rumah tangga nelayan di desa pesisir
Lombok bagian barat lebih rendah lagi yaitu Rp. 210.540,- sampai Rp. 643.510,-
per tahun.
·
Per
Musim
Berdasarkan
hasil wawancara yang telah dilakukan dengan responden dari pedagang pengumpul,
maka dapat diketahui pengeluaran pedagang pengumpul dalam per musim.
Pengeluaran pedagang pengumpul dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel
19. Pengeluaran Pedagang Pengumpul dalam Per Musim
No.
|
Biaya
|
|||
Tetap
|
Variabel
|
|||
Jenis Biaya
|
Jumlah (Rp)
|
Jenis Biaya
|
Jumlah (Rp)
|
|
1.
|
Parkir
|
Rp.360.000,-
|
Es
balok
|
Rp.3.600.000,-
|
2.
|
Plastik
|
Rp.1.080.000,-
|
Rokok
|
Rp.1.800.000,-
|
3.
|
Pajak
|
Rp.1.800.000,-
|
Makan
|
Rp.1.080.000,-
|
4.
|
Keranjang
|
Rp.5.400.000,-
|
Bensin
|
Rp.4.860.000,-
|
5.
|
Gabus
|
Rp.1.800.000,-
|
Oli
|
Rp.8.280.000
|
Jumlah
|
Rp.10.440.000,-
|
Jumlah
|
Rp.19.620.000,-
|
Dari
tabel di atas diketahui bahwa biaya tetap per musim dari Bapak Dg. Ngemba yaitu
sebesar Rp.10.440.000,- dengan perincian parkir motor Rp.360.000,-plastik
sebesar Rp.1.080.000,-, pajak sebesar Rp.1.800.000,-keranjang sebesar Rp.5.400.000,-,
serta gabus sebesar Rp.1.800.000,-. Sedangkan biaya variabel sebesar Rp.19.620.000,-
meliputi es balok sebesar Rp.3.600.000,-, rokok sebesar Rp.1.800.000,-, makan
sebesar Rp.1.080.000,-, bensin sebesar Rp.4.860.000,-, dan oli sebesar Rp.8.280.000,-.
Hal ini sesuai dengan pendapat Nurfaizah (2005) bahwa masyarakat pesisir yang
menempati pulau-pulau kecil, pada umumnya sangat miskin karena keterbatasan
modal dan teknologi. Rendahnya posisi ekonomi nelayan tidak menentunya hasil
tangkapan karena faktor musim, sulitnya mendapatkan modal kerja sehingga mereka
terperangkap dalam lingkaran kemiskinan yang menyulitkan mereka keluar dari
keterbelakangan.
2.
Keuntungan Masyarakat Pesisir
A.
Nelayan
·
Keuntungan
per hari
Π = TR - TC
= Rp.
500.000 – Rp. 340.000
= Rp.
160.000
·
Keuntungan
per musim
Π = TR
- TC
= Rp. 18.000.000 – Rp. 14.600.000
= Rp. 3.400.000
B.
Pedagang Pengumpul
·
Keuntungan
per hari
Π = TR -
TC
= Rp.120.000 – Rp. 83.000
= Rp.
37.000
·
Keuntungan
per bulan
Π = TR -
TC
= Rp. 7.200.000 – Rp. 2.595.000
= Rp. 4.605.000
·
Keuntungan
per musim
Π = TR -
TC
= Rp. 43.200.000 – Rp. 30.060.000
= Rp.
13.140.000
Dari
hasil perhitungan di atas dapat diperoleh bahwa keuntungan nelayan per hari dan
per musim masing-masing sebesar Rp. Rp. 160.000 dan Rp. 3.400.000. sedangkan
untuk pedagang pengumpul diperoleh bahwa keuntungan per hari, per bulan dan per
musim masing-masing sebesar Rp. 37.000, Rp. 4.605.000 dan Rp.13.140.000.
Menurut Habibi (2007) menyatakan bahwa total biaya atau total cost adalah biaya
tetap ditambah biaya variabel. Sedangkan untuk total penerimaan pada usaha
penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap diperoleh dari hasil penjualan
ikan dalam 1 tahun. Di mana pendapatan usaha meupakan hasil pendapatan
dikurangi semua biaya yang dikeluarkan selama proses produksi berlangsung.
F. Lembaga Ekonomi Pesisir
Berdasarkan hasil wawancara yang
telah dilakukan dengan responden nelayan oleh Bapak Abdul Sofyan bahwa para
nelayan di Paotere Kecamatan Gusung kurang
mengetahui adanya Undang-Undang Perikanan dan Lembaga yang dapat membantu usaha
masyarakat disana. Hal ini dikarenakan kurangnya mengetahui informasi dari
pemerintah atau lembaga yang berhubungan dengan hal tersebut. Lembaga ekonomi
masyarakat pesisir kurang terlibat langsung dalam memberikan informasi kemasyarakatan
juga dikarenakan kurangnya minat masyarakat untuk mengetahui undang-undang
perikanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahuri, dkk (2001) bahwa untuk
mempertahankan daya dukung dan kelestarian fungsi lingkungan maka kebijakan
yang ditempuh yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat akan besarnya manfaat
pengelolaan hasil-hasil sumber daya laut agar bangsa Indonesia dapat hidup dari
laut, dan menyadari hak dan kewajiban penggunaan kekayaan di wilayah laut
nasional yang juga berfungsi sebagai wahana pemersatu.
Tabel 20. Sumber Pembiayaan
Nelayan
No.
|
Sumber
Pembiayaan
|
Modal (Rp.)
|
Bunga (%)
|
Masa Pinjaman
|
1
|
KUD
|
5 Juta
|
5
%
|
Tergantung
|
2
|
Rentenir
|
3 Juta
|
25
%
|
Sampai lunas
|
Dari tabel di atas dapat
diketahui bahwa sumber pembiayaan nelayan berasal dari KUD dan rentenir
masing-masing sebesar 5 juta dan 3 juta rupiah. Di mana sumber pembiayaan
tersebut tidak memberatkan nelayan karena bunga yang dikenakan rendah. Menurut
Dahuri (2001) bahwa untuk meningkatkan harkat dan taraf hidup nelayan
maka perlu adanya kebijakan pemerintah untuk penyempurnaan pola hubungan keja
antara KUD dan nelayan dengan pengusaha dalam rangka meningkatkan keandalan sistem distribusi. Adanya kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kemampuan masyarakat desa pantai sangat diperlukan melalui
pemantapan organisasi dan pemerintah desa pantai, pengembangan prasarana sosial
untuk menggerakkan kehidupan ekonomi, dan pencairan alternatif kesempatan kerja di musim paceklik (Dahuri,
2001).
Dari hasil wawancara dengan responden Bapak Abdul Sofyan
bahwa dia melakukan usaha penangkapan ikan dengan cara berkelompok dengan
jumlah orang yang terlibat sebanyak 15 orang. Posisi Bapak Abdul Sofyan itu
sendiri pada kelompok tersebut yaitu sebagai sawi atau ABK. Dalam sistem bagi
hasilnya, misalnya mereka memperoleh hasil sebesar Rp 10 juta maka 1 juta
mereka keluarkan untuk perbaikan kapal, jarring, dan sebagainya. Kemudian
selebihnya mereka bagi rata, maksudnya kapten kapal setengah dari hasil dan
setengahnya lagi untuk kelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat Ilmawati (2004)
bahwa factor pendorong atau motif untuk menjadi sawi adalah hasrat untuk
mempertahankan diri dan mengembangkan hidup. Hal ini bersifat social dan di
dalamnya terdapat segi-segi yang bersifat ekonomi yang ingin dicapai.
G.
Dampak
Usaha Perikanan terhadap Lingkungan Sosial Ekonomi Masyarakat
Berdasarkan
hasil wawancara dengan dua responden, maka dapat diketahui bahwa ada dampak
yang ditimbulkan oleh usaha perikanan ini.
Dalam
melakukan usaha perikanan tidak ada peraturan yang berlaku. Dari informasi yang
diperoleh dari kedua responden, mereka pernah mendengar atau mendapatkan UU
Perikanan seperti larangan menggunakan bom dan racun ikan. Namun belum ada
aturan dan sanksi yang tegas.
Dampak
positif dilihat dari segi ekonominya yaitu para nelayan dan pedagang pengumpul
mempunyai pekerjaan yang dijadikan sebagai sumber mata pencaharian mereka yang
berguna untuk menghidupi keluarga mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim
(2006) bahwa usaha perikanan di Indonesia mempunyai potensi yang cukup besar,
baik areal budidaya maupun areal penangkapan ikan.
Sedangkan
dampak negatif meliputi timbulnya pencemaran di laut yang mengakibatkan
kerusakan ekosistem laut. Kerusakan ekosistem tersebut disebabkan oleh
banyaknya buangan limbah organik dan limbah kapal. Kerusakan ekosistem laut
biasanya hanya disebabkan oleh adanya limbah-limbah pabrik yang masuk ke laut
(Nikijuluw, 2002).
Untuk
menghadapi permasalahan yang telah muncul, usaha perikanan tidak hanya
diarahkan untuk keuntungan ekonomis, tetapi harus berjalan bersama-sama dengan
keseimbangan ekologis dan kepentingan sosial. Oleh karena itu, semua sektor dan
golongan sosial terkait harus dilibatkan. Hal ini penting dilakukan untuk
mencegah kerusakan ekosistem dan permasalahan sosial. (Anonim, 2006).
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pada hasil wawancara dengan kedua responden, maka dapat disimpulkan bahwa keadaan produksi sumberdaya perikanan masih banyak.
Dan peranan kelembagaan ekonomi sumberdaya masyarakat pesisir sangat besar
karena masyarakat memperoleh modal dari KUD. Selain itu, pendapatan masyarakat
cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
B. Saran
Dengan melihat hasil wawancara yang telah dilakukan
dengan anggota masyarakat setempat, kiranya pemerintah mau memberikan perhatian
yang lebih besar lagi terhadap PPI Paotere.
Untuk praktek lapang yang akan datang sekiranya dosen
yang bersangkutan ikut membimbing praktikan dalam melakukan praktek lapang dan
sekiranya pula asisten dapat menuntun praktikan dalam melakukan observasi di
lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar